JK: Empat Pulau Aceh Bagian Perjanjian dengan GAM

18 hours ago 10

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menyesalkan ‘kisruh’ perbatasan yang berujung pada perebutan empat pulau antara Sumatra Utara (Sumut) dan Aceh. JK menegaskan, rebutan Pulau Mangkir Gadang, Mangkir Ketek, Lipan, dan Panjang antara Sumut dan Aceh semestinya tak perlu terjadi jika Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) memahami aspek sejarah, dan administrasi teritorial keempat pulau tersebut. 

JK menegaskan tanpa penyelesaian yang bijaksana dari pemerintahan di Jakarta, perebutan pulau-pulau di perairan barat Sumut-Aceh itu, berisiko tinggi memunculkan konflik baru. Pun kata JK mengingatkan Kemendagri, tanpa penyelesaian yang baik oleh pemerintahan pusat, bakal mengembalikan titik nol kepercayaan masyarakat Aceh terhadap Jakarta. 

“Jadi bagi Aceh, itu harga diri. Karena diambil, dan itu juga masalah kepercayaan ke pusat,” kata JK saat menggelar konferensi pers di kediamannya di Brawijaya, Jakarta Selatan (Jaksel), Jumat (13/6/2025). JK bersama Sofyan Djalil menggelar konferensi pers khusus menyusul ‘sengketa’ antara Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumut dan Aceh mengenai Pulau Mangkir Gadang, Mangkir Ketek, Lipan, dan Panjang.

Sengketa tersebut terjadi lantaran terbitnya Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) 300.2.2-2138/2025. Kepmendagri yang ditetapkan pada 25 April 2025 tersebut soal Pemberian dan Pemutakhiran Kode serta Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau. Dalam Kepmendagri itu disebutkan Pulau Mangkir Gadang, Mangkir Ketek, Lipan, dan Panjang yang semula berada dalam teritorial dan bagian dari wilayah Pemprov Aceh, dimasukkan ke dalam wilayah administrasi Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tapanuli Tengah (Tapteng) di Sumut. Pemprov Aceh, dan masyarakat Aceh, hingga saat ini pun menentang keras keputusan Mendagri Tito Karnavian itu.

JK mengaku merasa perlu bicara, karena dirinya bersama Sofyan Djalil merupakan pihak-pihak yang mewakili pemerintah Indonesia dalam Perjanjian Damai dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki, Finlandia pada Agustus 2005 lalu. “Karena banyak yang bertanya kepada saya, yang bertanya membicarakan tentang pembicaraan atau MoU (kesepakatan) di Helsinki, (terkait) dengan perbatasan Aceh dan Sumatera Utara (menurut Kesepakatan Helsinki),” ujar JK. JK menegaskan, mengacu Perjanjian Helsinki antara Indonesia dengan GAM, empat pulau yang sekarang dipermasalahkan itu merupakan bagian dari wilayah Aceh.

Milik Aceh 

Kata JK, dalam Perjanjian Helsinki ada disebutkan terkait batas-batas teritorial atau wilayah Aceh dengan Sumut. Hal tersebut, kata JK mengacu pada Bab I Pasal 114 ayat (1). “Yang bunyinya, perbatasan Aceh, merujuk pada perbatasan 1 Juli 1956. Jadi pembicaraan atau di kesepakatan Helsinki (dengan GAM) itu ada merujuk ke situ (perbatasan 1956),” ujar JK. Lalu kata JK, ada apa pada 1956 tersebut?

JK menerangkan, pada 1956, Presiden Sukarno menerbitkan Undang-undang (UU) 24/1956. Beleid awal-awal kemerdekaan itu, terbit bukan karena tiba-tiba. Namun ada sejarah yang membuat Presiden Sukarno menerbitkan peraturan tersebut. Kata JK, UU 24/1956 itu keluar karena sebelumnya Aceh merupakan bagian dari Sumut. Dan keadaan itu memunculkan pemberontakan di Aceh yang keras menolak disatukan dengan Sumut. “Dulu, Aceh itu bagian dari Sumatera Utara. (Aceh) hanya residen dia. Kemudian Presiden Sukarno, karena ada pemberontakan di sana (Aceh), ada DI/TII, waktu itu Daud Beureueh, maka Aceh berdiri sendiri sebagai provinsi dengan otonomi khusus dengan kabupaten-kabupaten yang ada,” kata JK. DI/TII merupakan kelompok gerilyawan Darul Islam yang masif pada 1950-an.

Adanya pemberontakan di Aceh itu, kata JK yang menjadi latar belakang Presiden Sukarno menerbitkan UU 24/1956 yang khusus memberikan otonomi tersendiri bagi Aceh. Dan mengacu ke UU 24/1956 itu, kata JK, Aceh terdiri dari sekitar 18 kabupaten. Dan terkait dengan empat pulau yang diperebutkan tersebut, kata JK, masuk ke dalam salah-satu kabupaten Aceh. Yakni Kabupaten Aceh Singkil. “Empat pulau itu, Pulau Lipan, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Besar (Gadang), Pulau Mangkir Kecil (Ketek), itu secara historisnya memang masuk dia ke Aceh. Aceh Singkil dia,” kata JK.

Kata JK mengakui, secara geografis memang keempat pulau itu dekat dengan Sumut. Namun kedekatan geografis itu tak bisa menghapus latar belakang sosial dan sejarah tentang kepemilikan atas pulau-pulau itu. “Bahwa letaknya dekat dengan Sumatera Utara itu biasa,” ujar JK. Ia mengambil contoh adanya satu gugus pulau di Selat Sulawesi yang geografisnya lebi dekat ke Nusa Tenggara Timur (NTT). Namun kepemilikan pulau tersebut dalam Pemprov Sulawesi Selatan (Sulsel). Karena itu, kata JK, Kemendagri tak bisa cuma menjadikan aspek kedekatan geografis sebagai salah-satu penentu pemerintahan mana yang berhak atas pulau-pulau itu.

“Jadi baik dari sisi bahwa Pak Tito (Mendagri) karena ingin pemerintahan efisien dengan pemerintahan (daerah) yang lebih dekat (ke Sumut), tetapi secara historis ini memang empat pulau ini bagian dari Aceh. Dan itu, berdasarkan undang-undang (UU 24/2956),” kata JK. Dengan dasar hukum UU 24/1956 tersebut, kata JK, tak bisa Mendagri Tito menerbitkan Keputusan Menteri (Kepmen) yang mengalihkan Pulau Mangkir Gadang, Mangkir Ketek, Lipan, dan Panjang kepunyaan Aceh ke Sumut. “Saya juga sudah diskusi dengan Pak Mendagri, Pak Tito mengenai hal ini. Bahwa tentu karena ini didirikan dengan undang-undang, tidak mungkin dibatalkan dengan keputusan menteri,” kata JK.

Hirarki perundang-undangan, kata JK lebih meninggikan undang-undang dasar hukum yang lebih valid keputusan menteri. Pun, keputusan menteri yang dalam perspektif administrasi dan tata negara negara, tak bisa berlaku jika bertentangan dengan undang-undang. “Undang-undang itu kan lebih tinggi dari pada keputusan menteri. Kalau mau merubah itu, ya lewat undang-undang juga,” kata JK. Pun JK mengatakan, selama ini, sistem administrasi serta perpajakan di Pulau Mangkir Gadang, Mangkir Ketek, Lipan, dan Panjang masuknya ke Pemprov Aceh. “Selama ini juga, orang-orang di pulau itu, bayar pajaknya ke (Aceh Singkil),” kata JK.

Dari semua penjelasan tersebut, JK pun mengingatkan risiko atas kengototan pemerintah pusat, jika tetap mempertahankan kepmendari tentang empat pulau tersebut. Kata JK, semestinya Kemendagri memahami beragam aspek yang bisa menghindari kembalinya titik nol kepercayaan masyarakat Aceh terhadap pemerintahan Indonesia. Karena sejak Perjanjian Helsinki 2005 terkait dengan batas-batas wilayah pemerintahan khusus Aceh, sudah disepakati. Pun selama ini tak pernah membuat kebisingan yang kembali mengancam disintegritas. 

“Jadi ini, sudah menjadi kesepakatan kita bersama antara pemerintah dengan GAM (dalam Perjanjian Helsinki), bahwa kedua belah pihak waktu itu sepakat, pembicaraannya apa? Bahwa kepentingan Aceh waktu itu, ingin agar Aceh ini bersatu dan tidak ada pemekaran seperti di Papua belakangan,” ujar JK. “Karena kalau ada pemekaran di Aceh, maka Aceh akan terpecah. Dan itu tidak kita inginkan menimbulkan permasalahan yang di kemudian hari,” ujar JK. 

Versi Kemendagri...  

Read Entire Article
Berita Republika | International | Finance | Health | Koran republica |