SSF Wujudkan Pengelolaan Hutan Lestari oleh Masyarakat

6 hours ago 4

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni menegaskan, Presiden Prabowo Subianto kembali menjadikan perhutanan sosial sebagai salah satu proyek strategis nasional (PSN). Menurut Raja Juli, Presiden menginginkan pengelolaan hutan berorientasi kepada keadilan.

Hal itu agar hutan tidak hanya dikuasai oleh segelintir elit saja, tetapi juga dapat dimanfaatkan oleh sebanyak-banyaknya rakyat Indonesia, sekaligus turut menjaga kelestarian hutan dan memaksimalkan fungsinya untuk meningkatkan perekonomian masyarakat. Salah satunya melalui Proyek Penguatan Perhutanan Sosial di Indonesia atau Strengthening of Social Forestry in Indonesia Project (Proyek SSF) yang dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial, Kementerian Kehutanan.

“Proyek semacam SSF ini harus terus dijaga, diteruskan dan ditingkatkan, karena hingga saat ini tercatat 8,3 juta hektare areal Perhutanan Sosial yang sudah diberikan kepada kelompok masyarakat masih mempunyai tantangan besar, sampai sejauh mana akses kelola yang diberikan tersebut dapat menjadi daya ungkit kesejahteraan rakyat,” kata Raja Juli saat acara puncak perayaan Celebration of Our Achievements SSF Project di Kementerian Kehutanan.

Raja Juli berharap, melalui komitmen dan deklarasi keberlanjutan yang telah disampaikan oleh kepala daerah, maka kolaborasi bersama antar stakeholders (yang bersifat pentahelix), baik pemerintah, LSM, akademisi, media, dan sektor swasta, dalam mewujudkan penguatan perhutanan sosial dapat terus berjalan sehingga benar-benar bermanfaat bagi rakyat. “Saya membuka hati selebar-lebarnya, membuka tangan seluas-luasnya untuk terus bekerja sama dengan semua pihak baik lokal, nasional, dan internasional, untuk bersama-sama kerja bersama yang tujuannya yaitu hutan kita lestari, pembangunan tidak boleh berhenti, dan kesejahteraan masyarakat itu pasti,” ujarnya.

Proyek SSF merupakan proyek kerja sama hibah antara Kementerian Kehutanan (sebelumnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan/KLHK), dengan Global Environment Facility (GEF) yang disalurkan melalui The World Bank. Proyek ini bertujuan untuk memperkuat hak akses legal masyarakat dalam pemanfaatan lahan hutan dan meningkatkan kapasitasnya dalam pengelolaan hutan di beberapa lokasi prioritas yang dialokasikan untuk perhutanan sosial. Proyek ini dimulai pada 2020, namun karena Pandemi Covid-19, kegiatannya baru berjalan pada pertengahan tahun 2021 dan akan berakhir pada bulan Juni 2025.

Wilayah kerja Proyek SSF ini meliputi Kabupaten Lima Puluh Kota (Sumatera Barat), Kabupaten Lampung Selatan (Lampung); Dompu, Bima, dan Kota Bima (Nusa Tenggara Barat); serta Halmahera Barat (Maluku Utara). Pada tingkat regional proyek ini melibatkan tiga Balai Perhutanan Sosial (sebelumnya Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan/BPSKL) dan sepuluh Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH).

Project Manager Proyek SSF, Tubagus Ajie Rahmansyah, mengatakan bahwa menjelang akhir masa proyek pada Juni 2025 ini, hampir seluruh target capaian proyek, baik capaian utama (Project Development Objectives) maupun capaian antara (Intermediate Result Indicators) telah tercapai. Bahkan beberapa target capaian telah dilampaui. Antara lain adalah hak akses legal masyarakat atau persetujuan pengelolaan Perhutanan Sosial (PS) yang telah menjangkau angka 364.274 hektare (capaiannya lebih dari 120 prosen), yang diberikan kepada 706 kelompok dan terdiri dari 86.103 Kepala Keluarga.

“Secara nasional, saat ini luas areal persetujuan pengelolaan PS telah mencapai 8,3 juta hektare. Dengan demikian, Proyek SSF telah berkontribusi sekitar 4 persen terhadap capaian tersebut dalam kurun waktu hanya 4 tahun,” ujar Ajie.

Sebanyak 197.582 jiwa, yang terdiri dari 114.271 pria dan 83.311 perempuan, telah menerima manfaat dari pengelolaan hutan tersebut. “Salah satu indikator capaian Proyek SSF mendorong partisipasi perempuan sebanyak 82 persen. Mereka tidak hanya mendapatkan manfaat ekonomi, tapi juga memperoleh peningkatan dalam aspek non-ekonomi, memperkuat peran dan kontribusinya dalam pembangunan lokal,” ungkap Ajie.

Proyek SSF telah memfasilitasi pembentukan Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) sebanyak 706 KUPS, yang terdiri dari 78 KUPS Blue, 497 KUPS Silver, 106 KUPS Gold, dan 25 KUPS Platinum. Adapun jumlah KUPS yang telah diberikan bantuan hibah untuk mendukung pengembangan usaha sebanyak 505 KUPS. Kepala KPH Lima Puluh Kota, Provinsi Sumatera Barat, Afrial, mengatakan, sebanyak 17 KUPS di wilayahnya telah memiliki badan hukum yang prosesnya difasilitasi oleh Proyek SSF.

Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan, Mahfudz, mengapresiasi atas keberhasilan yang telah dicapai melalui Proyek SSF. “Proyek ini penting karena akan mendorong salah satu Asta Cita yaitu ketahanan pangan, energi, dan air. Alhamdulillah, dari Kabupaten Lima Puluh Kota sudah bisa mengekspor 8 ton kopi ke Dubai,” ujarnya.

Fasilitator Perhutanan Sosial Wilayah NTB, Siti Salmah, mengatakan bahwa Proyek SSF telah memberikan manfaat secara ekonomi terhadap masyarakat sekitar hutan. Menurut dia, masyarakat dapat memungut hasil hutan seperti kopi, kemiri, jambu mente, madu yang dapat dijual untuk menambah penghasilan mereka. “Jadi perhutanan sosial telah memungkinkan terjadinya transaksi ekonomi pada tingkat masyarakat,” ujarnya.

Kepala KPH Tambora Provinsi NTB, Andang, menjelaskan, Proyek SSF di wilayah Kabupaten Dompu, Kabupaten Bima, dan Kota Bima, Provinsi Nusa Tenggara Barat, mendapatkan akses legal sesuai dengan peraturan perundang-undangan, menambah tutupan lahan, mendorong usaha-usaha Perhutanan Sosial, dan mengubah pola pikir masyarakat dari praktik pola tanam jagung secara monokultur menjadi agroforestry (perpaduan tanaman pertanian dan kehutanan). “Kami berharap agar setelah proyek selesai, Pemerintah Pusat tetap mendampingi dan melakukan monitoring terhadap seluruh kegiatan yang telah dilaksanakan,” kata Andang.

Sebab, setelah Proyek SSF berakhir, hutan tetap dimanfaatkan secara legal oleh masyarakat melalui skema Perhutanan Sosial untuk produksi hasil hutan kayu dan bukan kayu, ekowisata berbasis masyarakat, agroforestry dan jasa lingkungan lain, dengan berbasiskan pada Rencana Kelola Perhutanan Sosial (RKPS), demikian ditambahkan oleh Kepala KPH Gedong Wani, Provinsi Lampung, Dwi Maylinda.

Kepala Balai KPH Ampang Riwo, Kabupaten Dompu, NTB, Faruk, mengatakan bahwa setelah Proyek SSF berakhir pada bulan Juni ini, maka KPH tetap terus melakukan penguatan dan pendampingan kelompok dengan melibatkan para penyuluh dan berkolaborasi dengan pihak terkait agar KPS dan KUPS yang terbentuk dan terfasilitasi dapat berkembang dan maju serta mandiri. “Karena melalui Proyek SSF ini, Kelompok Perhutanan Sosial (KPS) bersama KPH mendapatkan manfaat yang sangat banyak,” ujarnya.

Proyek SSF telah memberikan manfaat yang cukup besar, baik secara ekologis, sosial dan terutama secara ekonomis bagi masyarakat penerima manfaat maupun pemerintah daerah. Hal itu dapat dilihat dari nilai transaksi ekonomi perhutanan sosial, yang berasal dari penjualan komoditi hasil budidaya di areal PS. “Untuk wilayah Kota Bima, nilai transaksi ekonomi perhutanan sosial dari buah-buahan atau umbi-umbian lainnya adalah sebesar Rp26,9 miliar dan Kabupaten Bima sebesar Rp21,8 miliar dari kemiri,” demikian kata Ahyar, Kepala Balai KPH Maria Donggomasa, Kabupaten Bima, Provinsi NTB.

Fasilitator Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat, Yonefis, berharap agar Proyek SSF bisa terus berlanjut karena memberikan manfaat yang nyata bagi masyarakat. “Tampak tahapan programnya mulai dari perencanaan, pelaksanaan, monitoring, dan pemberian manfaat kepada masyarakat. Jadi kami berharap ada SSF jilid 2, kalaupun tidak,mungkin bisa dilanjut dengan program sejenisnya,” kata Yonefis.

Kepala Seksi Perlindungan Hutan Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, dan Pemberdayaan Masyarakat, sekaligus mewakili Kepala KPH Halmahera Barat, Muhammad Anwar, memastikan masyarakat tetap bisa mendapatkan manfaat dari perhutanan sosial, meski Proyek SSF berakhir. Oleh karena adanya izin atau persetujuan yang diberikan oleh Menteri Kehutanan selama 35 tahun dan bahkan bisa diperpanjang, merupakan modal bagi masyarakat. “Jadi, pengelolaan hutan oleh masyarakat tetap berjalan, karena KPS sudah menyusun RKPS, yang merupakan panduan untuk mengelola hutan hingga 10 tahun ke depan, sehingga setiap tahunnya ada acuan untuk masyarakat mau melakukan apa, karena sudah ada di RKPS,” ujarnya.

Kepala Balai Perhutanan Sosial Ambon, Ojom Somantri, menegaskan bahwa pendampingan kepada kelompok masyarakat masih sangat diperlukan, meski Proyek SSF berakhir. “Ke depannya peran tersebut diharapkan dapat diteruskan oleh Pokja PPS Provinsi, Dinas Kehutanan dan KPH. Kami, Balai PS juga tidak akan tinggal diam. Meski tanpa Proyek SSF, kita harus bisa melanjutkan program dan kegiatan yang telah dirintis oleh Proyek SSF,” kata Ojom.

Read Entire Article
Berita Republika | International | Finance | Health | Koran republica |