REPUBLIKA.CO.ID, LABUAN BAJO -- Tren konsumsi di Indonesia, khususnya di segmen menengah ke atas, menunjukkan pola yang menarik sepanjang tahun ini. Meskipun data big data secara umum belum menunjukkan performa yang cemerlang, sektor perusahaan, terutama di beberapa lini bisnis, justru terlihat cukup optimistis. Namun, jika kita melihat perilaku konsumen secara keseluruhan, terutama mereka yang berada di kelas menengah ke atas, ada indikasi kehati-hatian dalam berbelanja.
Chief Economist PT Bank Central Asia Tbk (BCA) David Sumual mengatakan kelompok menengah ke atas, yang secara statistik menyumbang sekitar 70 persen dari total konsumsi menurut data BPS, merupakan motor penggerak utama pembelian barang tahan lama (durable goods), seperti mobil, motor, furnitur, hingga pakaian dan barang mewah. Namun, fenomena “Rojali” alias rombongan jarang beli mulai terlihat jelas, terutama di pusat-pusat perbelanjaan.
Secara anekdotal, menurut David, kita sering mengamati bahwa keramaian di mal justru didominasi oleh pengaruh wisata dan perjalanan luar daerah. Para pengunjung dari kota-kota lain seperti Surabaya, Palembang, atau bahkan Papua, sering kali menjadi pembeli utama di mal-mal besar di Jakarta. Sebaliknya, warga Jakarta sendiri cenderung mengunjungi mal hanya untuk makan atau mencari diskon. Kemudahan akses ke e-commerce juga turut membentuk preferensi belanja yang lebih selektif, di mana konsumen cenderung membandingkan harga dan mencari penawaran terbaik.
Beberapa pemasok produk mewah, seperti tas dan arloji, bahkan merasakan dampak langsung dari fenomena ini. “Ada beberapa pemegang merek yang merasakan, ini kok mirip-mirip waktu krisis 2008,” ujar David, saat berbicara di Acara Editors Briefing Bank Indonesia, di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, beberapa waktu lalu.
Namun, menurutnya, ini bukan berarti daya beli masyarakat menengah ke atas menghilang. Justru, mereka memiliki “tenaga dalam” atau daya beli yang sangat besar, tetapi untuk sementara waktu, dana tersebut “diparkir” di berbagai instrumen investasi. Tawaran bunga deposito yang mencapai 7–9 persen, imbal hasil SBN yang menarik, serta daya tarik instrumen investasi lain seperti emas digital, emas fisik, dan perhiasan, menjadi magnet kuat.
“Yang nawarin ini bunga 9 persen, 7 persen, giro aja ada yang 7 persen,” kata David, menjelaskan mengapa semua instrumen investasi itu posisinya lagi menarik buat mereka. “Sehingga sementara ya mereka ke sana dulu.”
Kondisi ini dapat diibaratkan seperti seorang pelari maraton yang sedang menjaga ritme. Meskipun laju konsumsi tertahan, daya tahan ekonomi masih kuat. “Seperti orang lari nih,” David mengibaratkan, “kalau lari juga suasananya enak gitu, pace-nya juga bisa dijaga. Mungkin bisa lebih tinggi sedikit pace-nya gitu kan. Dan heart rate-nya bisa dijaga juga.”
Faktor eksternal yang sempat membebani, seperti tarif dagang yang tinggi atau gejolak geopolitik, tampaknya sudah melewati titik terburuknya. “External factor-nya kelihatannya sih yang terburuk harusnya sudah lewat ya,” tambah David, “masalah tarif, ini kan yang ratusan persen kan udah 2–3 bulan lalu harusnya makin rendah. Dan nggak mungkin zero juga kan Amerika memberikan tarif ke banyak negara.”
Selain itu, belanja pemerintah yang mulai digelontorkan dan adanya stimulus ekonomi menjadi katalisator penting untuk mendorong kembali roda perekonomian. “Pemerintah sudah mulai belanja, sudah mulai merilis dan ada stimulus juga,” ujar David, optimistis terhadap prospek ke depan.
Dengan demikian, fenomena “Rojali” di kalangan menengah ke atas ini bukanlah pertanda kelesuan ekonomi jangka panjang, melainkan lebih merupakan strategi kehati-hatian finansial di tengah daya tarik investasi yang tinggi dan antisipasi terhadap perbaikan kondisi ekonomi secara keseluruhan. Begitu momentum yang tepat datang, “tenaga dalam” yang saat ini terparkir diperkirakan akan kembali mengalir deras ke aktivitas konsumsi, menghidupkan kembali denyut nadi ekonomi nasional.
sumber : Antara