REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Tren budaya fandom di kalangan anak muda Jepang kini menjelma menjadi kekuatan ekonomi baru. Fenomena ini dikenal sebagai oshikatsu, istilah yang merujuk pada kegiatan mendukung tokoh atau grup idola favorit yang kini bukan sekadar hobi. Oshikatsu sudah menjadi gaya hidup yang memperkuat jati diri dan relasi sosial.
“Ikut kerja rasanya lebih menyenangkan karena ada TWS. Mereka jadi motivasi saya,” ujar Moriyama Yua (23 tahun), seorang pegawai kantoran di Tokyo, di ajang CJ KCON Japan 2025 di Makuhari Messe, Chiba, 11 Mei lalu. Yua mengaku menghabiskan lebih dari 10 ribu yen Jepang (sekitar Rp 1 juta) dalam satu jam untuk membeli pernak-pernik K-pop favoritnya, TWS.
Dulu dianggap aktivitas obsesif ala otaku, kini oshikatsu telah menjadi arus utama konsumsi generasi milenial, Gen Z. Barang-barang khas fandom seperti ita-bag atau tas transparan yang dihiasi bagdes, gantungan kunci, dan foto idola bukan lagi simbol berlebihan tetapi bentuk kebanggaan dan dedikasi yang diperlihatkan secara terbuka dan kompetitif.
Menurut riset Oshikatsu Soken, dikutip dari Korea Times, Selasa (3/6/2025), jumlah pelaku oshikatsu aktif di Jepang mencapai 13,84 juta orang per Januari 2025. Jumlah ini naik 2,5 juta dari tahun sebelumnya. Pertumbuhan tercepat terjadi pada perempuan usia 31–34 tahun, dengan peningkatan partisipasi sebesar 8,2 persen menjadi 30,4 persen.
Total belanja tahunan komunitas ini diperkirakan mencapai 3,5 triliun yen (sekitar Rp 370 triliun), dengan pengeluaran rata-rata individu sekitar 250 ribu yen per tahun. Sekitar 80 persen responden mengatakan pengeluaran mereka untuk oshikatsu meningkat dibanding tahun sebelumnya.
Data dari biro iklan Hakuhodo menunjukkan pelaku oshikatsu mengalokasikan 37 persen pendapatan yang bisa dibelanjakan serta 39 persen waktu luang mereka untuk kegiatan fandom, mulai dari membeli barang, menghadiri konser, hingga mengikuti perjalanan bertema idola.
Peningkatan gaji juga turut mendorong lonjakan konsumsi ini. Kantor Kabinet Jepang mencatat, pekerja di bawah usia 30 tahun mengalami kenaikan upah rata-rata sebesar 4,2 persen tahun lalu atau tertinggi dibanding kelompok usia lainnya. Seorang penggemar pria mengaku menghabiskan 200 ribu yen dalam enam bulan untuk game dan barang karakter, sementara seorang pekerja wanita tahun ketiga rutin menyisihkan 100 ribu yen per bulan untuk DVD dan boneka idola.
Namun uang bukan satu-satunya pendorong. Media sosial juga memainkan peran besar. “Para penggemar aktif membagikan event yang mereka datangi dan barang yang mereka beli. Validasi sosial menjadi penting,” ujar peneliti Hirose Ryo dari NLI Research Institute.
Tak hanya barang, pengeluaran oshikatsu kini mencakup perjalanan, penginapan, dan makan. Seorang ibu rumah tangga dari Fukuoka melakukan perjalanan dua malam ke Chiba demi mendukung ZEROBASEONE, dengan total biaya mencapai 100 ribu yen. Bahkan penggemar dari luar negeri, seperti Chiaki dari Shanghai, rela terbang ke Jepang hanya untuk menghadiri acara dan sekalian berwisata ke Kyoto.
Melihat tingginya risiko pembatalan konser, muncullah asuransi oshikatsu. Produk yang diluncurkan oleh perusahaan MyInsurance pada 2020 ini kini telah melayani lebih dari satu juta polis. Jika konser batal akibat cuaca atau kondisi artis, biaya transportasi dan akomodasi akan diganti.
Perusahaan besar pun ikut ambil bagian. Sejak 2021, JR Tokai menyediakan paket perjalanan khusus oshikatsu, termasuk kereta eksklusif bagi penggemar konser. Kini mereka mengoperasikan sekitar 100 paket per tahun, dengan jumlah peserta melonjak dua kali lipat menjadi 10 ribu orang pada 2024.
“Generasi MZ (Millennial dan Z) sangat menghargai hubungan sosial yang dibangun melalui minat bersama,” kata Hirose.
Kepala Oshikatsu Soken, Dada Natsuho, menegaskan bahwa oshikatsu kini telah melampaui batas sekadar hobi. “Ini adalah identitas budaya dan ekonomi baru,” ujarnya.