Oleh : Iwan Rudi Saktiawan, Pengamat Ekonomi Syariah
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gelombang demonstrasi yang mengguncang Indonesia sejak 25 Agustus 2025 menjadi pengingat yang menyakitkan, adanya jurang lebar antara yang berpunya dan yang tidak. Hal ini terungkap dalam berita di detik.com (6/9/2025) yang berjudul “Ketimpangan Ekonomi Jadi Alasan Masyarakat RI Marah.”
Kerugian harta dan nyawa adalah harga yang terlalu mahal untuk sebuah pesan yang seharusnya bisa kita pahami tanpa protes di jalanan. Tagar "17+8 Tuntutan Rakyat" di media sosial bukan sekadar angka, melainkan jeritan hati yang mendalam.
Ketimpangan ekonomi di Indonesia diantaranya dilaporkan oleh Oxfam International pada tahun 2024. Dalam laporannya, empat orang terkaya di Indonesia memiliki kekayaan lebih besar daripada gabungan kekayaan 100 juta penduduk termiskin. Gini rasio yang dilaporkan oleh BPS mendukung laporan Oxfam International tersebut. Gini rasio Indonesia menunjukkan peningkatan, dari 0,379 pada Maret 2024 menjadi 0,381 pada September 2024.
Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, pendapatan Rp 3 juta per bulan, adalah sebuah keistimewaan. Mayoritas tenaga honorer non-ASN, mayoritas honornya tidak mencapai jumlah tersebut. Jumlah mereka tidak sedikit, data dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB) per awal 2024, ada 2,35 juta tenaga honorer non-ASN.
Angka Rp 3 juta perbulan dengan Rp 3 juta perhari, bagaikan langit dan bumi. Sehingga wajar ketika di-blow up pernyataan,”Tiga juta sehari aja ribut, gua ngartis sejam sepuluh juta”, sebagian masyarakat emosinya mendidih. Terlepas benar atau tidaknya pernyataan itu disampaikan oleh anggota DPR atau hanya sebuah rekayasa, faktanya, pernyataan tersebut telah menyulut kemarahan.
Bisa jadi, sebagian orang berpendapat bahwa menikmati kekayaan, tanpa peduli dan tanpa berbagi adalah hal yang wajar dan bukan sesuatu yang salah. Mungkin akan ada yang berkata,”Salah gue ape, menikmati hasil banting tulang gue siang-malam. Itu bukan hasil maling atau ngerampok lho.” Secara legal formal, memang tidak ada pelanggaran. Namun perhatikanlah hadits berikut ini.
“Seseorang yang beriman itu bukanlah orang yang kenyang sedangkan tetangganya kelaparan.” (HR. Bukhari).
Merujuk hadits tersebut, ternyata kepedulian bukan sebuah pilihan atau kebajikan tambahan, namun sesuatu hal pokok/mendasar. Sedemikian mendasarnya kepedulian sosial sehingga termasuk bagian dari keimanan. Bahkan dalam Al Qur’an secara eksplisit dinyatakan bahwa di sebagian harta kita ada hak orang lain (fakir miskin). Sehingga bila kita menikmati kekayaan tanpa berbagi, sama artinya kita telah memakan harta orang lain.
“Pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.” (QS adz-Dzarriyat ayat 19).
Selain itu, tidak cukup hanya dengan berbagi, berbaginya pun harus dilakukan dengan hati yang tulus sehingga tidak menyakiti yang menerimanya.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima)” (QS. Al Baqarah: 264).
Dengan demikian, maka bagi para pejabat eksekutif maupun legislatif perlu berhati-hati dalam berkata dan share foto atau video. Jangan sampai hal tersebut menimbulkan sakit hati masyarakat meskipun sebenarnya tidak bermaksud demikian. Berbagi namun menyakitkan hati saja dilarang, apalagi tidak berbagi namun membuat sakit hati, tentu sangat terlarang.
Selain itu, bagi eksekutif dan legislatif, kepedulian kepada masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) harus diwujudkan dengan membuat kebijakan dan program yang memberdayakan MBR serta menghindari adanya kebijakan yang memarjinalkan MBR. Oleh karena itu, terkait Undang-Undang, tidak hanya Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset yang perlu segera disahkan. RUU lain yang memberdayakan masyarakat seperti RUU Perkoperasian dan RUU Ekonomi Syariah (Eksyar), perlu segera disahkan.
Eksyar perlu diperkuat dengan UU, agar kesenjangan sosial mengecil dan kemakmuran terwujud. Kesimpulan ini bukan hanya hasil kajian dari lembaga Islam seperti Islamic Development Bank, namun juga hasil kajian dari International Monetary Fund (IMF) dan World Bank (WB).
Laporan "Islamic Finance: A Catalyst for Shared Prosperity?" yang diterbitkan oleh Bank Dunia pada tahun 2017 secara khusus membahas bagaimana wakaf dan instrumen keuangan sosial Islam lainnya dapat digunakan untuk meningkatkan inklusi keuangan dan mengurangi ketimpangan.
Sedangkan laporan dan makalah kerja dari IMF, misalnya, The Islamic Financial System: A Comparative Perspective, sering kali mengulas fitur-fitur ekonomi Islam yang berpotensi mengurangi kesenjangan ekonomi.
Mari kita jadikan kepedulian sebagai gaya hidup. Seruan ini tidak hanya untuk pejabat pemerintahan dan legislatif, juga termasuk untuk kita. Mulailah dari hal kecil, misalnya dengan membantu tetangga, berdonasi, atau meluangkan waktu untuk kegiatan sosial. Jika kepedulian telah menjadi budaya, berbagi menjadi norma, maka jurang kaya-miskin bisa menyempit. Semoga tagar “17+8” di tahun depan tidak berisi tuntutan, namun tagar tentang benar-benar merdekanya bangsa Indonesia dari kemiskinan dan kesenjangan sosial yang tinggi.