REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Persidangan kasus dugaan perundungan dan pemerasan terhadap almarhumah Aulia Risma Lestari, mahasiswi PPDS Anestesia Universitas Diponegoro (Undip) kembali digelar di Pengadilan Negeri Semarang, Jawa Tengah, Rabu (11/6/2025). Dalam sidang tersebut, jaksa penuntut umum (JPU) menghadirkan dua mahasiswa PPDS Anestesia Undip sebagai saksi untuk digali keterangannya.
Salah satu saksi adalah Novi, mahasiswi PPDS Anestesia Undip Angkatan 75. Novi memulai pendidikannya pada Juli 2021. Dalam persidangan tersebut Novi membeberkan berbagai aturan dan tanggung jawab yang harus dijalaninya bersama teman-teman seangkatannya sebagai junior.
Sebagian aturan tersebut bertujuan melayani dan memenuhi kebutuhan senior. Biaya untuk menyediakan kebutuhan para senior tersebut bersumber dari iuran setiap mahasiswa yang dihimpun dalam kas angkatan.
Novi mengaku, dia sempat mengalami beban mental ketika menjalani PPDS Anestesia Undip yang dilaksanakan di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr Kariadi. "Beban mental ada. Buat saya beban mental itu ketika saya dimarahi untuk sesuatu yang di luar pendidikan. Selama saya dimarahi dan ditegur berkaitan dengan itu (pendidikan), saya fine-fine saja," ujarnya.
Dia mencontohkan mendapat omelan dari senior ketika salah membagikan makan. "Kalau saya dimarahi karena sesuatu yang tidak terlalu penting, saya beban mental," ucapnya.
Di persidangan tersebut, Novi menceritakan salah satu tanggung jawabnya sebagai junior adalah menyediakan makan prolong, yakni makanan untuk para senior dan dokter penanggung jawab pelayanan (DPJP) yang masih bertugas hingga di atas pukul 18:00 WIB. Penyediaan makanan tersebut, termasuk kebutuhan senior lainnya dibiayai melalui kas angkatan.
Novi mengungkapkan, iuran untuk kas angkatan berkisar antara Rp 5 juta hingga Rp 20 juta per bulan. “Di awal-awal (semester) Rp 5 juta. Tiga sampai enam bulan itu Rp 10 sampai Rp 20 juta,” ucapnya.
Menurut Novi, beban mental tak hanya dirasakan olehnya, tapi juga teman-teman seangkatannya. Sepengetahuan Novi, dia atau teman-teman seangkatannya tidak ada yang mengalami depresi akibat tekanan mental selama menjalani pendidikan. Namun Novi mengetahui terdapat juniornya yang mengalami depresi. "Junior ada beberapa (mengalami depresi), Angkatan 77," ungkapnya.
Sepengetahuannya, ada dua mahasiswa di Angkatan 77 yang mengalami depresi. "Termasuk almarhum (Aulia Risma Lestari). Satu lagi laki-laki," ujar Novi.
Meski menghadapi tekanan mental, Novi tetap mengikuti semua peraturan dan budaya senioritas yang sudah ada. Novi bertekad untuk tetap bisa merampungkan PPDS Anestesia Undip.
Sebelum Novi memberikan kesaksian, JPU terlebih dulu menghadirkan Zsa Maharani, mahasiswi PPDS Anestesia Undip Angkatan 74. Zsa sudah lulus pada Februari 2025. Salah satu hal yang diceritakan Zsa dalam keterangannya adalah terkait "pasal anestesi".
Dia mengatakan, ketika masuk sebagai mahasiswi pada 2021, terdapat orientasi bersama senior. Dalam orientasi tersebut, selain dijelaskan tentang tugas dan tanggung jawab junior semester I, para senior juga menyampaikan apa yang disebut “pasal anastesi”.
“Pasal anestesi itu ada enam: pertama, senior selalu benar; jika senior salah kembali ke pasal satu; hanya ada kata ‘ya’ dan ‘siap’; yang enak hanya untuk senior; jika mengeluh, siapa suruh masuk anestesi,” ucap Zsa ketika menjawab pertanyaan dari JPU.
Selain itu, di PPDS Anestesia Undip diterapkan sistem kasta. Zsa mengatakan, sistem kasta dibagi menjadi tiga, yakni tim merah, kuning, dan hijau. “Tim merah terdiri dari semester satu dan dua, kuning semester tiga sampai lima, tim hijau itu semester enam ke atas,” ucapnya.
Zsa mengungkapkan, ada pula istilah untuk melabeli mahasiswa sesuai tingkatannya. Mahasiswa baru atau tingkat satu disebut sebagai “kuntul”, selanjutnya kakak pembimbing atau kambing, middle senior, senior, chief of chief, dewan syuro, hingga DPJP.
Sama seperti Novi, Zsa dan teman-teman seangkatannya turut menghimpun uang kas. Kas tersebut digunakan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga PPDS Anestesia. Di dalamnya termasuk menyediakan makan prolong, yakni makanan untuk para senior dan dokter penanggung jawab pelayanan (DPJP) yang masih bertugas hingga di atas pukul 18:00 WIB. Menurut Zsa, setiap sehari, dia dan teman-teman seangkatannya harus menyediakan lebih dari 80 porsi makan prolong dengan menu seragam.
Makan prolong hanya satu dari sekian kebutuhan senior yang harus dipenuhi junior. “Untuk di awal, kami sepakat waktu itu (iurannya) Rp 5 juta. Kemudian setelah dijalani, kami merasa uangnya kurang. Kemudian saya sebagai bendahara ngomong ke grup kalau ini kurang, butuh tambahan lagi,” ucapnya.
Akhirnya Zsa dan teman-teman seangkatannya sepakat mengeluarkan iuran sebesar Rp 10 juta per bulan. “Ini berlangsung selama satu semester,” ujar Zsa.
Terdapat tiga terdakwa dalam kasus dugaan perundungan dan pemerasan terhadap almarhumah Aulia Risma Lestari. Mereka adalah Taufik Eko Nugroho, Sri Maryani, dan Zara Yupita Azra. Taufik adalah eks ketua Prodi PPDS Anestesia Fakultas Kedokteran (FK) Undip. Sementara Sri Maryani merupakan staf admin Prodi Anestesiologi FK Undip. Sedangkan Zara adalah dokter residen atau senior Aulia Risma.