Tentang Revisi Sejarah Dijajah Belanda 350 Tahun

5 hours ago 4
Hari Kemerdekaan Indonesia selalu dirayakan di berbagai pelsik Tanah Air setelah lepas dari penjajahan selama 350 tahun, dengan pengibaran bendera Merah Putih dan berbagai lomba. Pemerintah akan merevisi sejarah mengenai Indonesia dijajah Belanda selama 350 tahun. Apa konsekuensinya? Sumber: republika

Oleh Priyantono Oemar, bergiat di Komunitas Jejak Republik

Peristiwa di Banda Aceh pada Maret 1932 ini bisa kita pakai untuk mengkaji ulang keinginan pemerintah menulis ulang sejarah penjajahan di Indonesia. Di antaranya ada dua hal yang menyedot perhatian, yaitu revisi narasi Indonesia dijajah Belanda 350 tahun dan sejarah mengenai Tan Malaka.

Menteri Kebudayaan Fadli Zon menyatakan, sejarah Indonesia dijajah selama 350 tahun oleh Belanda akan direvisi dengan menekankan pada perlawanan bangsa Indonesia. Alasannya, banyak wilayah yang hingga awal abad ke-20 belum dijajah oleh Belanda.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Fadli Zon juga perlu ingat, setelah proklamasi kemerdekaan, banyak wilayah yang menginginkan tetap bergabung dengan Belanda dan tidak mau bergabung dengan Republik Indonesia. Alih-alih meluruskan sejarah, keinginan Fadli Zon itu bisa membuka luka lama nasionalisme Indonesia.

Apa yang terjadi di Banda Aceh (dulu Kotaraja) pada 6 Maret 1932? Seribu orang dipimpin Teuku Hassan memprotes kebijakan pemerintah kolonial yang menghentikan penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar sekolah.

Pemerintah kolonial telah memutuskan agar sekolah-sekolah di berbagai daerah, termasuk di Aceh, kembali menggunakan bahasa daerah. Sekolah di Aceh harus kembali menggunakan bahasa Aceh, sekolah di Minangkabau kembali menggunakan bahasa Minang, sekolah di Jawa Barat kembali menggunakan bahasa Sunda, dan seterusnya.

Pada 7 Maret 1932, koran De Sumatra Post menurunkan laporan mengenai protes itu. “Secara umum diyakini bahwa penggunaan bahasa Aceh sebagai bahasa utama di sekolah, secara bertahap dapat mengarah pada pemisahan Aceh dari konteks Indonesia.”

Kebijakan kembali ke bahasa daerah itu diambil untuk menghalangi laju pergerakan persatuan Indonesia, yang menurut pada pemuda, akan semakin cepat jika bangsa Indonesia menguasai bahasa Indonesia. Bahasa Melayu merupakan pintu masuk bagi bangsa Indonesia untuk menguasai bahasa Indonesia yang baru dilahirkan pada 1928.

Protes-protes yang muncul di daerah, rata-rata tak mau mereka dipisahkan dari konteks Keindonesiaan. Persatuan Indonesia yang digaungkan oleh para pemuda telah menggema hingga pelosok Tanah Air, baik di daerah yang sudah dijajah oleh Belanda sejak awal abad ke-17 ataupun yang baru dijajah pada awal abad ke-20.

Demi persatuan itulah, Bung Karno perlu membuat klaim bahwa bangsa Indonesia telah sepenanggung-sependeritaan dijajah selama 350 tahun, karena wilayah-wilayah otonom itu kemudian menyatu menjadi wilayah Indonesia. Tak peduli ada yang baru dijajah beberapa puluh tahun saja.

Sebab, Indonesia dimerdekakan dalam bentuk baru yaitu republik, menggabungkan berbagai wilayah otonom yang telah ada sebelumnya berbentuk kerajaan. Bahkan, setelah proklamasi kemerdekaan, para pendiri bangsa masih harus terus memperjuangkan semua wilayah bersatu dalam naungan Republik Indonesia, agar tidak bernaung di bawah Kerajaan Belanda lagi.

Meski pada sidang PPKI 19 Agustus 1945, wilayah Republik Indonesia ditetapkan mencakup provinsi: Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Sunda Kecil (Bali-Nusa Tenggara), Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, tapi di kemudian hari ada yang tidak mau bergabung dengan Republik Indonesia. Mereka memilih dalam ikatan Kerajaan Belanda: Bali bersama NTB dan NTT, kemudian Sulawesi dan Maluku, tergabung dalam negara Indonesia Timur pada 24 Desember 1946.

Kalimantan terbagi menjadi negara Dayak Besar, Kalimantan Timur, Kalimantan Tenggara, Kalimantan Barat, bergiliran bergabung dengan Hindia Belanda sejak 7 Desember 1946 hingga 12 Mei 1947. Di Sumatra ada Sumatra Timur, Riau, Bangka, Belitung, dan Sumatra Selatan yang juga menjadi bagian Hindia Belanda.

Di Jawa pun berdiri negara Pasundan, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, memisahkan diri dari Republik Indonesia. Bahkan, Batavia kemudian menjadi wilayah distrik federal Hindia Belanda dan pemerintahan RI pindah ke Yogyakarta.

Read Entire Article
Berita Republika | International | Finance | Health | Koran republica |