REPUBLIKA.CO.ID, BANTUL -- Puluhan mahasiswa asing tampak berbaur dengan masyarakat di Kampung Batik Giriloyo, Wukirsari, Imogiri, Bantul, Ahad (2/11/2025).
Mereka bukan sekadar turis yang ingin belajar membatik, tetapi menjadi peserta International Summer Course on Interprofessional Healthcare yang diselenggarakan oleh Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (FK-KMK UGM).
Tidak ada kode iklan yang tersedia.
Program tahun ini mengusung tema 'Promoting Resilient Workplaces and Sustainable Environments for Global Health Equity', menyoroti pentingnya tempat kerja yang aman dan berkelanjutan untuk mendukung kesetaraan kesehatan global dan diikuti oleh mahasiswa dari Vrije Universiteit Medical Center (VuMC) Amsterdam (Belanda), Mahidol University (Thailand), serta peserta dari Pakistan dan Myanmar, bersama mahasiswa dari berbagai universitas di Indonesia.
Selama tiga hari sebelumnya, para peserta telah mengikuti sesi kuliah intensif di FK-KMK UGM. Setelah itu, mereka turun langsung ke lapangan untuk memahami bagaimana konsep kesehatan kerja diterapkan di masyarakat.
"Mereka mengimplementasikan ilmu yang didapatkan selama 3 hari, bagaimana dia bisa memanfaatkan ilmu tersebut untuk mengobservasi kesehatan kerja dan lingkungan dan kesehatan lingkungan yang ada di masyarakat di dalam dunia nyata," kata Koordinator Summer Course 2025, Dr Drs Abdul Wahab, dalam acara Summer Course 2025 di Kampung Batik Giriloyo, Wukirsari, Bantul, Ahad (2/11/2025).
Wahab mengatakan dalam kunjungan ke sentra batik ini, para mahasiswa asing diajak untuk melihat tantangan kesehatan kerja secara lansgung pada industri batik. Mereka mengenali proses produksi batik tulis tradisional, dari memanaskan malam, mencanting, hingga pewarnaan dan pengeringan kain. Di setiap tahap itulah mereka belajar mengidentifikasi potensi bahaya kerja serta pentingnya penggunaan alat pelindung diri.
Wahab menyebut nantinya hasil pengamatan mereka akan dipersentasikan di akhir program.
"Para mahasiswa ini akan mengobservasi bagaimana keselamatan dan kesehatan kerja itu diterapkan di perusahaan atau di industri sehingga mereka bisa mencegah atau bisa mengurangi dampak kesakitan yang diakibatkan oleh pekerjaan," ucapnya.
Wakil Dekan Bidang Akademik dan Kemahasiswaan FK-KMK UGM, dr. Ahmad Hamim Sadewa, menyampaikan industri rakyat seperti batik merupakan contoh nyata bagaimana budaya, ekonomi, dan kesehatan masyarakat saling berkaitan.
Menurutnya, pengalaman ini sangat berharga untuk dibagikan kepada mahasiswa dari berbagai negara. Pasalnya mereka bisa belajar bersama tentang kesehatan kerja dan kesehatan lingkungan di era global, melalui pendekatan interprofesional dan pembelajaran langsung di lapangan.
"Dengan adanya sentra semacam ini yang ada di Girimulyo, Wukirsari Bantul, maka batik yang merupakan kesenian budaya tradisional yang berakar dari masyarakat bisa dikembangkan menjadi suatu industri kerakyatan yang berbasis pada masyarakat, tapi dengan menggunakan sistem manajemen yang modern," katanya.
"Kita melihat sekali bahwa yang ada di sini merupakan hal yang patut kita banggakan dan kita share ke teman-teman kita dari negara lain," ucapnya menambahkan.
Sementara itu, Ketua Tim Internasionalisasi FK-KMK UGM, dr Dwi Aris Agung Nugrahaningsih, menjelaskan tema kesehatan kerja dan lingkungan dipilih agar mahasiswa bisa memahami penyakit dari akar penyebabnya, bukan hanya gejalanya.
"Kebanyakan anak-anak yang disini kan dari kedokteran ya kedokteran, kedokteran gigi, farmasi, MIPA yang mereka tahunya itu pasien datang ke rumah sakit dengan penyakit tapi dari mana sih sebenarnya datangnya sakit itu asalnya karena apa itu mereka mungkin tidak banyak terpapar. Jadi kita mengenalkan kesehatan kerja dan kesehatan lingkungan ini untuk menyampaikan ke mereka bahwa karena pekerjaan yang dikerjakan oleh seseorang, karena lingkungan dimana dia tinggal, itu bisa menyebabkan timbulnya penyakit." ungkapnya.
Menurut Dwi, pendekatan ini penting karena menanamkan pola pikir preventif kepada calon tenaga kesehatan. Mahasiswa juga diajak untuk memberikan edukasi kepada masyarakat berdasarkan hasil observasi mereka.
"Jadi menggabungkan antara apa yang dilihat dengan apa yang didapatkan ketika kuliah. Harapannya bisa memberikan manfaat juga selain mereka juga belajar bahwa pencegahan itu juga penting tidak hanya mengobati pasien, tapi juga mencegah sebelum sakit," katanya.
Kesadaran K3 di Balik Kain Batik
Bagi masyarakat Giriloyo, kunjungan mahasiswa asing membawa kebanggaan tersendiri. Mereka tak hanya memperkenalkan batik sebagai warisan budaya, tetapi juga belajar bersama mengenai keselamatan kerja dan pelestarian lingkungan.
Pelaku batik lokal, Vena Jaladara, menyampaikan apa saja tantangan kesehatan dan keselamatan yang jarang disadari termasuk di industri batik ini.
"Yang sering terlewatkan adalah dibalik kesuksesan dan maraknya lagi batik ini, ini sebenarnya ada beberapa hal penting terkait risiko pekerjaan maupun lingkungan yang harusnya lebih diutamakan lagi," ujarnya.
Ia menambahkan bahwa banyak pembatik bekerja di rumah tanpa perlindungan yang memadai. Menurutnya, kesadaran seperti inilah yang perlu terus ditanamkan melalui kolaborasi seperti summer course ini.
"Karena batik ini, pembuatan batik ini juga banyakan home-based workshop, jadi pekerja atau membatik itu sendiri banyak dilakukan di rumah. Risiko-risiko ini sebetulnya bukan hanya terkait dengan pembatik itu sendiri tapi juga pada akhirnya mungkin sampai ke lingkungan sekitar maupun komunitas yang lebih besar," katanya.
"Harapannya setelah ini mungkin kita sama-sama memulai kembali memikirkan pentingnya keselamatan dan kesehatan kerja khususnya di sektor-sektor yang masih jarang tersentuh dengan regulasi-regulasi formal di sektor informal," ucapnya.
Ischa, mahasiswa asal Belanda yang menjadi salah satu peserta Summer Course FK-KMK UGM, mengaku mendapatkan banyak pengalaman baru selama mengikuti kegiatan di Kampung Batik Giriloyo. Melalui kegiatan ini, ia dan teman sejawatnya tak hanya belajar membatik, tetapi juga memetik pelajaran penting tentang kesehatan kerja, pelestarian lingkungan, dan kearifan lokal.
"Saya rasa program ini sangat bagus. Lingkungan pekerjaan mereka di sini cukup bagus, secara ekonomi mereka juga harus bekerja keras dengan postur tubuh yang tidak selalu baik. Tapi saya rasa ada solusi untuk menjaga kesehatan mereka," katanya.
Selain belajar tentang aspek kesehatan kerja, Ischa juga menikmati pengalaman membatik secara langsung.
"Ini baru pertama kali saya mencobanya, termasuk kegiatan yang seru, kami juga belajar langsung cara membatik dari awal hingga akhir," ungkapnya.
Peserta lainnya, Michelle, mahasiswa asal Belanda, berbagi pengalamannya mengikuti workshop batik yang diadakan di Kampung Batik Giriloyo, Bantul. Ia mengatakan betapa menarik sekaligus menantangnya proses pembuatan batik tradisional.
"Mereka telah memberitahu kami proses membuat batik. Ini sangat menarik, walaupun sangat sulit," ujarnya.
Bagi dia, pengalaman mencoba membuat batik sendiri memberinya pemahaman mendalam mengenai ketelitian dan kesabaran yang dibutuhkan dalam setiap tahap produksi. Selain belajar teknik membatik, Michelle juga menyoroti tantangan ergonomis yang dihadapi para pengrajin batik, terutama kondisi kerja yang panas dan posisi duduk yang lama. Sebagai seorang profesional perumahan, ia berusaha berdiskusi dengan para pengrajin mengenai kemungkinan peningkatan efisiensi kerja agar kesehatan mereka lebih terjaga.
"Sebagai profesional perumahan, saya ingin berbicara dengan mereka. Bagaimana kita bisa membuatnya lebih efisien dan tidak berbahaya untuk badan Anda, agar Anda bisa melakukan pekerjaan Anda dengan tenang," ujarnya.

7 hours ago
5































