Ketika Warisan Menjadi Sumber Luka

6 days ago 30

Image Desi Sommaliagustina

Kolom | 2025-06-01 23:12:42

Kantor Pengadilan Agama Padang Kelas 1 A (Sumber: tribunnews.com)

Beberapa hari yang lalu, seorang perempuan menangis di halaman Pengadilan Agama. Ia baru saja kalah dalam sengketa pembagian warisan. Rumah masa kecil yang dirawatnya bertahun-tahun, harus ia lepaskan kepada saudara tirinya—anak dari istri kedua ayahnya—karena hukum menetapkan bagian laki-laki dua kali lebih besar dari perempuan. Di matanya, yang tertinggal hanya perasaan tidak adil.

Kisah ini bukanlah cerita tunggal. Di berbagai daerah, warisan kerap menjelma menjadi bara yang membakar keharmonisan keluarga. Saudara berseteru, anak-anak saling menggugat, dan tidak jarang, ibu ditinggalkan setelah sang ayah wafat. Ironisnya, semua ini terjadi atas nama "aturan agama" atau "hukum Islam".

Padahal, sejatinya, hukum waris Islam hadir bukan untuk menciptakan ketimpangan, melainkan untuk menjamin keadilan dan keteraturan dalam distribusi harta peninggalan. Masalahnya, kita seringkali memaknainya secara tekstual, tanpa mempertimbangkan konteks sosial dan nilai-nilai substansial yang mendasari syariat.

Bukan Sekadar Angka

Hukum waris dalam Islam memang memiliki karakteristik yang unik. Al-Qur’an secara eksplisit mengatur pembagian warisan dalam Surah An-Nisa ayat 11, 12, dan 176—sebuah keistimewaan karena tidak ada hukum lain dalam Al-Qur’an yang ditulis dengan sedetail itu. Ketetapan tersebut mencerminkan kesungguhan Islam dalam membangun keadilan dalam keluarga, bukan sekadar pembagian matematis.

Salah satu ketentuan yang paling sering disorot adalah bagian waris anak laki-laki yang dua kali lipat lebih besar dari anak perempuan. Ketentuan ini berakar pada struktur tanggung jawab dalam masyarakat Arab saat itu, di mana laki-laki memikul beban finansial terhadap keluarganya: menafkahi istri, anak, dan orang tua.

Namun, zaman berubah. Di Indonesia hari ini, banyak perempuan menjadi tulang punggung keluarga, bahkan menanggung hidup orang tuanya sendirian. Ketika realitas sudah berubah, adakah ruang dalam hukum Islam untuk menyesuaikan diri?

Ruang Ijtihad

Islam bukan agama yang kaku. Ia menyeimbangkan antara ketentuan hukum dan pertimbangan keadilan. Di sinilah konsep maqashid syariah atau tujuan-tujuan syariat menjadi penting. Tujuan utama dari hukum waris bukan hanya membagi, melainkan menjaga hak dan menghindari kezaliman.

Dalam konteks Indonesia, fleksibilitas hukum Islam tampak dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang mengakomodasi wasiat wajibah. Konsep ini memungkinkan seseorang memberikan harta warisan kepada pihak yang tidak secara langsung berhak menurut hukum waris Islam, seperti anak angkat atau saudara tiri. Meskipun nilainya maksimal sepertiga dari harta warisan, keberadaan wasiat ini menjadi bukti bahwa hukum Islam dapat menyesuaikan diri dengan keadilan sosial.

Sayangnya, banyak keluarga Muslim yang belum memahami, apalagi memanfaatkan, mekanisme ini. Surat wasiat jarang dibuat, diskusi warisan dianggap tabu, dan pembagian harta sering ditunda hingga konflik tak terhindarkan.

Kemana Negara?

Negara tidak boleh bersikap pasif terhadap kekacauan pembagian warisan dalam masyarakat. Literasi hukum waris Islam perlu ditingkatkan melalui jalur pendidikan, penyuluhan di tingkat desa, dan pelatihan untuk tokoh agama serta penyuluh hukum. Negara juga dapat mendorong setiap warga yang sudah lanjut usia untuk membuat surat wasiat, yang bisa memuat pembagian harta yang lebih proporsional sesuai kondisi keluarganya.

Kehadiran hukum tidak hanya untuk mengatur saat konflik, melainkan untuk mencegahnya. Jika semua orang tua Muslim menyusun wasiat dengan mempertimbangkan keadilan dan kebutuhan anak-anaknya, banyak konflik keluarga bisa dihindari. Sebab warisan seharusnya bukan sumber luka, melainkan titipan cinta.

Selain itu, revisi terhadap Kompilasi Hukum Islam atau penyusunan Undang-Undang Waris Islam yang lebih komprehensif bisa menjadi solusi jangka panjang. Undang-undang tersebut bisa memberikan ruang yang lebih eksplisit untuk mekanisme penyelesaian sengketa waris berbasis keadilan substantif, bukan semata kepatuhan tekstual.

Warisan bukan semata soal tanah, rumah, atau uang. Ia adalah nilai, keteladanan, dan keharmonisan yang diwariskan antar generasi. Jika dalam pembagiannya justru menimbulkan permusuhan, maka kita gagal mewarisi hal yang paling esensial.

Islam tidak pernah memerintahkan kezaliman dalam pembagian warisan. Jika hukum diterapkan tanpa pertimbangan kasih sayang dan keadilan, maka yang tercipta bukanlah masyarakat yang adil, melainkan masyarakat yang pincang secara moral dan sosial.

Warisan sejati bukan hanya apa yang ditinggalkan, tetapi bagaimana cara kita mengelolanya dengan penuh hikmah. Keadilan bukan selalu tentang sama rata, tetapi tentang menempatkan sesuatu sesuai tempatnya—dan itulah ruh sejati dari hukum Islam.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Read Entire Article
Berita Republika | International | Finance | Health | Koran republica |