
FILMUSIKU.com — Film terbaru berjudul Gowok: Kamasutra van Java sedang tayang di bioskop. Karya sutradara Hanung Bramantyo ini menyoroti tradisi khas dari wilayah Barlingmascakeb (Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap, dan Kebumen) yang dikenal dengan istilah gowok.
Gowok merupakan sebuah praktik budaya di mana laki-laki muda sebelum menikah, harus belajar seni merayu dan memuaskan istri di ranjang dengan bimbingan perempuan dewasa.
“Saya orang Jawa dan Muslim yang kuat dengan budaya patriarki,” ujar Hanung dalam diskusi terbuka bertema ‘Gowok: Femininitas atau Maskulinitas?’ yang digelar di Museum Kebangkitan Nasional, Jakarta, Rabu (11/6/2025).
“Selama ini, yang saya tahu, perempuan melayani suami, tapi ternyata ada tradisi gowok yang jutru memuaskan perempuan, saya tidak tahu,” kata Hanung membuka diskusi dan menceritakan alasannya mengangkat gowok ke layar lebar.
Tradisi ini memberikan posisi kesetaraan perempuan dan laki-laki dalam urusan yang dianggap tabu, yaitu hubungan suami istri. Ternyata justru tidak banyak laki-laki, khususnya laki-laki Jawa, yang tahu perihal gowok ini. Oleh sebab itu, Hanung merasa perlu untuk mengabarkan hal ini kepada khalayak.
Diskusi ini tidak hanya menyoroti aspek sinematik, tetapi juga mendorong refleksi lebih dalam tentang posisi tubuh dan hasrat perempuan dalam budaya Indonesia. “Sebenarnya target saya laki-laki. Kalau ternyata yang menonton justru banyak perempuan, nah itu di luar prediksi,” kata Hanung lagi ketika melihat peserta diskusi memang dihadiri lebih banyak perempuan.
Ruang diskusi film ini bergerak ke nilai-nilai etika, relasi gender, serta relasi kuasa dalam konteks seksual dan budaya. Apakah praktik ini merupakan bentuk penghormatan terhadap hasrat dan kepuasan perempuan, atau justru merupakan manifestasi dari ego maskulin yang ingin mengukuhkan diri sebagai lelananging jagad (laki-laki perkasa yang menguasai perempuan secara seksual)?
“Persoalan seks penting bagi kehidupan manusia. Kini seks sudah sangat terbuka seiring kemajuan era digital, tapi masih tabu dibicarakan,” kata Purnabakti Komisioner Komnas Perempuan dan KPAI, Magdalena Sitorus, dalam kesempatan yang sama.
Terbuka artinya terekspos untuk segala umur, tetapi pendidikan seks masih tabu dan terbatas, khususnya terkait dengan kesetaraan perempuan. Hak-hak yang didapatkan perempuan, misalnya perihal kepuasan, masih menjadi tabu.
‘Atau jangan-jangan perempuan sudah menerima jika tidak orgasme?’ Demikian pertanyaan retorika yang dilontarkan Magdalena terkait kesetaraan perempuan dalam hubungan suami istri.
Tabu yang diangkat ke layar lebar memberikan tantangan tersendiri. Hanung mengatakan bahwa harus bersiasat dalam setiap scene agar pesan sampai tapi tidak mengarah pada pornografi. Film yang sudah tayang duluan di Rotterdam ini menggunakan keahlian intimacy coordinator, sehingga mampu menganalisis adegan-adegan intim agar tidak melampaui batas penonton yang ditargetkan, yaitu 17 tahun ke atas.
Peserta mengajukan banyak pertanyaan kritis, termasuk kehadiran Gerwani yang masih dianggap sensitif terkait isu genosida 1965. Hanung menyampaikan bahwa Gerwani pada masa setting waktu film Gowok merupakan organisasi yang memperjuangkan hak-hak perempuan.
Mereka memperjuangkan perempuan untuk bersekolah, menolak poligami, dan perempuan mendapatkan hak setara. Dipilih era 1965 berdasarkan temuan riset film ini dan era ini pula yang menjadi berakhirnya tradisi gowok di film tersebut.
Film ini tidak hanya menyajikan narasi budaya yang jarang diangkat, tetapi juga menghadirkan perdebatan kritis seputar posisi perempuan, maskulinitas, dan representasi seksualitas dalam masyarakat Jawa kontemporer.
Gowok: Kamasutra van Java menjadi upaya sinematik untuk membongkar lapisan-lapisan makna dalam sebuah tradisi yang nyaris terlupakan tetapi sarat kontroversi melalui pendekatan sejarah, gender, dan budaya populer.