Bahaya Laten Sejati Dalam Perjalanan Peradaban Dunia

1 day ago 10

Oleh : Iskandarsyah Siregar, Kepala Pusat Studi Ketahanan Nasional

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Saya tiba-tiba teringat saat terlibat pembicaraan serius dalam keadaan informal dengan sahabat sekaligus kolega saya semasa mengajar di Lomonosov Moscow State University, Professor Lyudmilla Demidyuk. Satu waktu, sambil berjalan kaki pulang berbelanja dari Azbuka Vkusa, tiba-tiba beliau mengingatkan dan meminta saya waspada terhadap Truslivyy predatel. Apa itu? Itu adalah padanan bahasa Rusia dari istilah bagi oportunis yang bermain dua kaki.

Frasa ini digunakan untuk menyebut seseorang yang gemar mengkhianati orang lain, kelompok, atau prinsip karena ketakutan atau sifat pengecutnya (bukan karena keyakinan atau keberanian). Orang-orang seperti ini biasanya cenderung bermain dengan cara menjilat kanan-kiri, mendekati secara sembunyi-sembunyi semua pihak yang potensial berkuasa, atau melompat dari satu kelompok ke kelompok lain. Itu mereka lakukan tanpa ada prinsip luhur sama sekali. Yang penting “cari aman”. Jadi frasa “Truslivyy predatel” lebih mudah dipadankan dengan kata “Pengkhianat”.

Pengkhianat itu pada dasarnya adalah pengecut. Ia tidak pernah berani sejak awal menyatakan sikap dan keberpihakan secara terbuka terhadap ide, kelompok, atau prinsip tertentu. Ia menyembunyikan wajah, menyimpan motif, dan bergerak dalam bayang-bayang. Yang ia pentingkan bukan nilai, bukan kebajikan, tetapi keuntungan jangka pendek. Oleh karena itu, keberpihakan seorang pengkhianat bersifat oportunistik, bukan ideologis.

Pengkhianat tidak konsisten karena memang tidak punya fondasi kepercayaan yang kokoh. Kesetiaannya semu, dan loyalitasnya bisa dibeli. Ia tidak tumbuh dari keberanian moral, melainkan dari rasa takut kehilangan peluang. Sejarah mencatat bahwa mereka yang menghianati perjuangan bangsanya selalu muncul sebagai tokoh abu-abu: tidak pernah terang dalam niat, tidak pernah jernih dalam tujuan.

Sejarah Dunia dan Indonesia Penuh Pengkhianat

Sejarah dunia dipenuhi dengan pengkhianat. Dari Julius Caesar yang ditikam oleh orang kepercayaannya, Brutus, hingga raja-raja di Timur Tengah yang tumbang karena pengkhianatan pejabat terdekat. Indonesia pun demikian. Dalam sejarah perjuangan kemerdekaan, ada mereka yang menjual informasi kepada penjajah. Dalam sejarah pemerintahan, ada yang menggadaikan mandat rakyat untuk kepentingan pribadi. Bahkan saya (dan mungkin Anda), merasa sedang menyaksikan seseorang politisi yang berprofesi sebagai penghianat, atau lebih tepatnya kutu loncat, yang saat ini mulai kebingungan karena lupa bahwa sepak terjangnya selama ini sudah diketahui dan ditandai oleh semua orang. 10 tahun orang petantang-petenteng seolah berkuasa selamanya. Tapi saat ini, dia gagal menjilat penguasa yang baru, di saat dia sudah tidak diinginkan oleh majikannya yang lama. Saat ini, semua orang menjadi selalu waspada dan tidak ada yang mau memasukkan orang ini ke dalam lingkaran inti mereka. Kenapa? Karena semua sudah tahu kalau seorang penghianat adalah makhluk yang lebih berbahaya daripada musuh yang nyata.

Begitupun, ada sebuah rumus ilmu pasti: pengkhianat tidak akan pernah menjadi pemenang sejati. Mereka memang kadang berhasil dalam satu episode. Mereka mungkin sempat meraih jabatan, uang, atau pengaruh. Tapi semua itu semu dan sementara. Tidak ada pengkhianat yang dikenang sebagai teladan. Tidak ada penghianatan yang bisa diabadikan dalam rasa bangga.

Hari Terakhir Seorang Pengkhianat

Senyum mereka mungkin lebar ketika berhasil menyingkirkan orang jujur. Panggung mereka mungkin megah ketika berhasil menyesuaikan diri dalam sistem yang korup. Namun waktu tidak bisa ditipu. Hari terakhir dalam hidup mereka akan membungkam segala tawa. Karena hati kecil manusia tidak bisa berbohong. Pengkhianat tahu, bahkan ketika semua orang memuji dan mencium tangannya, bahwa itu bukan karena ia terhormat, tetapi karena posisi yang sedang ia duduki. Ketika posisi itu hilang, ia menjadi kosong. Dan pada saat itu, kesepian menghantam.

Majikan baru yang mereka layani pun sebenarnya tidak pernah sepenuhnya percaya kepada mereka. Karena mereka tahu: jika hari ini seseorang bisa mengkhianati kawan dan bangsanya sendiri, maka esok ia pun bisa mengkhianati siapa saja. Termasuk majikannya. Inilah sebabnya, pengkhianat tidak akan pernah benar-benar memiliki rumah, tidak akan benar-benar diterima di mana pun.

Diri yang Tidak Bisa Dibanggakan

Pengkhianat tidak akan pernah merasa utuh. Mereka tidak akan nyaman dengan dirinya sendiri. Di balik pencapaian dan jabatan yang diraih dengan cara kotor, ada ruang kosong yang tidak bisa diisi oleh apapun. Sebab, ia tahu bahwa semua itu bukan hasil jerih payah yang jujur. Bukan karena kompetensi atau nilai. Melainkan karena siasat kotor, kelicikan, dan tipu muslihat.

Dan saat hari tua menyapa, ketika ruang dan waktu menyempit, saat tidak ada lagi yang bisa dijadikan alat atau sekutu, maka penyesalan datang bertubi-tubi. Di situlah mereka akan menyadari bahwa semua gemerlap yang pernah mereka nikmati selama satu tahun, sewindu, bahkan sedekade, tidak sebanding dengan kehampaan dan kehinaan di hari-hari terakhir mereka.

Bahkan, tidak seperti mereka yang sekadar kalah dalam suatu pertarungan, dimana setelah kalah mereka tetap merasa bangga karena sudah menyelesaikan perjalanan mereka dengan jujur dan tidak ada tagihan belakang hari yang harus mereka lunasi, para pengkhianat di akhir masanya akan sibuk membayar pengkhianatan mereka yang ditagih pada saat mereka sudah rapuh dan rentan. Inilah momentum yang sangat menyiksa dalam hidup seseorang.

Kita Tidak Boleh Diam

Lalu, bagaimana bangsa ini harus merespons? Apakah kita hanya duduk dan membiarkan semuanya berjalan seperti biasa? Apakah kita akan terus memberikan ruang bagi mereka yang secara terang-terangan menghina integritas, melecehkan komitmen kebangsaan, dan menjual kedaulatan demi kepentingan sesaat?

Kita harus bersikap. Diam adalah bentuk pembiaran yang akan melahirkan bencana lebih besar. Bangsa ini harus kembali mengedepankan nilai-nilai kejujuran, integritas, dan keberanian moral. Kita harus mendukung mereka yang tetap teguh di jalan kebenaran, meskipun jalannya sunyi dan penuh resiko. Kita harus mengangkat kembali peran intelektual, guru, ulama, dan pemimpin moral yang tidak bisa dibeli oleh kekuasaan.

Sedangkat rekomendasi bagi para oportunis, pengkhianat, atau yang sejenisnya hanya satu. Yaitu, bertobatlah.

Masa Depan Bangsa di Tangan Siapa?

Bangsa ini tidak kekurangan orang pintar, tapi sering kekurangan orang jujur. Bangsa ini tidak kekurangan program, tapi kekurangan keberanian untuk berkata benar. Oleh karena itu, jika kita ingin keluar dari segala krisis—krisis ekonomi, krisis ekologi, krisis budaya, dan krisis kepemimpinan—maka kita harus mulai dengan membersihkan ruang publik dari pengkhianatan.

Jangan beri tempat bagi orang-orang yang sudah terbukti menghianati kepercayaan. Jangan beri mimbar bagi mereka yang berkali-kali bermain dua kaki. Jangan biarkan posisi strategis dimanapun di mukabumi ini dikuasai oleh mereka yang sudah terbukti hanya menjadi alat kepentingan jangka pendek.

Mari Bangun Barisan yang Benar

Hari ini, bangsa ini membutuhkan barisan yang teguh. Barisan yang tidak sibuk menghitung keuntungan pribadi, tetapi berani mengambil resiko untuk kebaikan bersama. Mari kita dukung dan bangun kembali lembaga-lembaga yang menjunjung tinggi integritas. Mari kita hidupkan kembali forum-forum ilmiah yang independen, media yang jujur, dan sistem pendidikan yang mendidik keberanian berpikir dan berbuat.

Kita harus bangga menjadi bagian dari bangsa yang masih memiliki nurani. Kita harus terus percaya bahwa kebaikan, kejujuran, dan keteguhan hati masih memiliki tempat di republik ini. Karena hanya dengan itu, kita bisa menyelamatkan Indonesia dari kerusakan yang lebih dalam.

Jalan Kita Masih Panjang, Tapi Arah Harus Diperjelas

Sejarah akan terus berulang. Akan selalu ada pengkhianat. Tapi tugas kita bukan menghilangkan mereka sepenuhnya, karena itu mustahil. Mereka akan terus lahir dan berkembang selama bumi ini masih berputar. Tugas kita adalah membatasi ruang gerak mereka. Membuka mata publik. Menyuarakan kebenaran. Dan tetap berdiri, meski di tengah badai. Bahkan melawan dengan strategi yang tepat. 

Yang jelas, ingkar munkar itu adalah kewajiban. Jangan berada pada sisi mereka yang zalim. Tuhan pun berkata: "Janganlah kamu membela orang-orang yang berkhianat dan selalu menyembunyikan pengkhianatannya dalam diri mereka. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang selalu berbuat khianat dan dosa." 

Karena pada akhirnya, hari terakhir hidup manusia adalah pengadilan yang paling jujur. Di sanalah, segala kepalsuan akan runtuh. Dan disanalah, harga diri sejati akan berbicara. Semoga kita tidak menjadi bagian dari pengkhianatan apapun, sekecil apapun itu. Karena sejarah tidak pernah salah dalam mencatat. Dan Tuhan tidak pernah lalai dalam memberikan penilaian, begitupun azab-Nya. 

Read Entire Article
Berita Republika | International | Finance | Health | Koran republica |