
ShippingCargo.co.id, Jakarta—Kecelakaan kapal sudah jadi hal yang lumrah mengingat tiada yang tahu nasib pelayaran. Maka, prosedur K3 jadi hal yang wajar dalam rangka mencegah kecelakaan semakin mahal, baik untuk pelaku industri pelayaran ataupun biaya pencemaran lingkungan.
Dari Titanic ke Concordia, dan Dona Paz hingga insiden terkini, tabrakan kapal bukan sekadar tragedi teknis—melainkan potret rapuhnya keseimbangan antara teknologi, manusia, dan laut yang tak kenal ampun, seperti dilansir oleh Marine Insight.
Titanic (1912): Ambisi Kelewat Batas
RMS Titanic adalah simbol awal dari ambisi manusia yang tak sebanding dengan kesiapan menghadapi risiko. Dibangun seharga 7,5 juta dolar pada 1912 silam, (setara 243 miliar dolar saat ini), kapal “tak bisa tenggelam” itu harus berakhir berakhir di dasar Atlantik pada pelayaran perdananya, menewaskan lebih dari 1.500 orang.
Kurangnya sekoci dan keyakinan berlebihan terhadap desain menjadi pemicu. Tragedi ini melahirkan Safety of Life at Sea (SOLAS) pada 1914, serta pembentukan International Ice Patrol. Meski regulasi lahir, pertanyaan abadi tetap menggantung: apakah kita benar-benar berubah dengan kecelakaan tersebut, atau sekadar reaktif?
Costa Concordia (2012): Teknologi Kalah oleh Ego
Satu abad kemudian, dunia kembali disadarkan lewat tenggelamnya Costa Concordia akibat manuver sembrono kapten Francesco Schettino. Kapal senilai $612 juta ini menabrak karang dekat Isola del Giglio, menewaskan 32 orang. Total kerugian? Lebih dari $2 miliar.
SOLAS diperbarui, latihan evakuasi kini wajib sebelum keberangkatan. Namun seperti ditegaskan pakar maritim Captain John Dalby: “Tak ada inovasi yang cukup kuat untuk mengimbangi kelalaian manusia.”
Dona Paz (1987): Luka Abadi di Filipina
Ketika ferry Dona Paz bertabrakan dengan tanker MT Vector, lebih dari 4.300 jiwa melayang dalam tragedi laut paling mematikan abad ke-20. Ferry penuh sesak, tak ada cukup sekoci, dan minim pelatihan keselamatan. Api dari muatan bahan bakar memperparah situasi.
Bencana ini memaksa Filipina mereformasi aturan pelayaran domestik. Tapi menurut penyintas, “Yang kami lawan bukan badai, tapi sistem yang abai.”
Tabrakan Termahal Bukan Sekadar Angka
Menurut IMO, pada 2024 terjadi 251 tabrakan kapal di seluruh dunia—mayoritas disebabkan kesalahan manusia. Radar, sensor, bahkan kecerdasan buatan tak bisa menolong jika awak lelah, tak terlatih, atau salah ambil keputusan.
Insiden seperti MV Solong dan MT Stena Immaculate (2025) menunjukkan pola berulang. Tingginya biaya finansial sering menutupi beban kemanusiaan yang jauh lebih besar.
Pelajaran Mahal yang Tak Boleh Diulang
Industri maritim terus bergerak menuju standar keselamatan berbasis tujuan (goal-based standards), namun adopsi teknologi harus dibarengi budaya keselamatan. Tabrakan kapal bukan takdir. Ia hasil dari sistem yang gagal melihat nyawa sebagai prioritas utama.
Pertanyaannya kini: berapa miliar lagi yang harus terbakar, dan berapa ribu nyawa lagi yang harus hilang, sebelum dunia benar-benar belajar?