Sejengkal demi Sejengkal, Indonesia Tergerus Kenaikan Permukaan Laut

3 hours ago 6

Oleh : Jani Purnawanty; Dosen dan Peneliti Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Penerima Grant Impact Seed Funding (ISF) Pulitzer Center 2022 dan 2023 tema Climate Change

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketika suatu negara kehilangan daratan, ia kehilangan lebih dari sekadar tanah. Ia kehilangan ruang untuk hidup sebagai manusia merdeka. Tanpa tanah, tak ada tempat untuk pulang, tak ada tempat untuk mati, tak ada tempat untuk dikenang. 

Setiap tahun, tanpa suara dan tanpa headline, sebagian daratan Indonesia lenyap ditelan laut. Di Desa Timbulsloko, Jawa Tengah rumah, sawah, makam leluhur sudah terendam Laut Jawa. Di Jenu, Tuban, air rob tak lagi bertamu musiman, namun sudah tinggal menetap. Desa-desa pesisir di Demak, Tuban, hingga Tulungagung kini hidup bersama rob dalam realitas keseharian.

BRIN memperkirakan kenaikan muka air laut hingga 0,56 m pada 2050 akan merendam 30.120 km persegi wilayah daratan Indonesia, setara luas Provinsi Jambi. Jakarta Utara tenggelam 25 cm tiap tahun, lebih cepat dari Bangkok atau Manila. Selama ini kita beranggapan bencana hilangnya wilayah daratan karena kenaikan permukaan laut (sea level rise) hanya menimpa negara-negara kecil di Pasifik. Nyatanya, Indonesia sudah kehilangan tanahnya, sejengkal demi sejengkal.

Fenomena hilangnya daratan bukan bencana alam biasa. Ini bagian dari krisis perubahan iklim global. Perubahan iklim menyebabkan kenaikan permukaan laut melalui dua mekanisme utama: pencairan es di daratan (seperti gletser dan lapisan es di Greenland dan Antartika) dan ekspansi termal air laut akibat pemanasan global. Ketika suhu bumi meningkat akibat akumulasi gas rumah kaca, es daratan meleleh dan airnya mengalir ke laut, sehingga volume air bertambah.

Di saat yang sama, akibat pemanasan global, air laut menghangat dan memuai, memperbesar volume air tanpa menambah massa. Gabungan dua proses ini memicu kenaikan permukaan laut global. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) Report 2021 mencatat kini laju debit kenaikan rata-rata sekitar 3,7 mm per tahun. Akibatnya, wilayah pesisir yang sebelumnya aman dari pasang kini sebagian menghilang. Nyata, perubahan iklim berdampak destruktif ke semua sektor kehidupan.

Telah tersedia instrumen Hukum Internasional tentang perubahan iklim: United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) 1992 dan Protokol Kyoto 1997. Lantas, didorong kebutuhan akan kesepakatan global lebih inklusif dan transformatif, disepakatilah Paris Agreement (2015). Ini perjanjian internasional tentang lingkungan pertama berlingkup universal, berkarakter mengikat, serta memikulkan tanggung jawab ke semua negara tanpa terkecuali untuk menanggulangi krisis iklim.

Dalam kerangka Paris Agreement, perubahan iklim tidak hanya dilihat sebagai persoalan emisi karbon, melainkan ancaman langsung terhadap kehidupan, hak, dan wilayah. Artikel 2 menetapkan tujuan utama: menahan kenaikan suhu global di bawah 2 derajat Celcius dan berupaya maksimal menjaga agar tidak melebihi 1.5 derajat Celcius sebagai batas krusial yang sangat menentukan laju kenaikan permukaan laut. Aturan paling relevan untuk isu hilangnya daratan diatur dalam Artikel 7 yang mewajibkan negara memperkuat kapasitas adaptasi. Artikel 8 mengakui secara eksplisit adanya loss and damage, kerugian permanen yang tidak bisa dipulihkan, termasuk tenggelamnya wilayah negara. 

Melalui Paris Agreement, Hukum Internasional tidak hanya menawarkan kerangka teknokratis, tapi juga menyerukan tanggung jawab moral dan solidaritas global. Ketika desa-desa pesisir di Indonesia mulai lenyap, Paris Agreement menjadi pengingat bahwa negara berkewajiban hukum melindungi tanah, masyarakat, dan martabat bangsa dari ancaman dampak destruktif perubahan iklim.

Pun dalam Hukum Lingkungan Internasional, terdapat tiga prinsip penting. Precautionary Principle menegaskan bahwa tindakan harus diambil sebelum kerugian terjadi. Intergenerational Equity mengingatkan akan warisan terbesar suatu bangsa bukan hanya budaya, tapi juga tanah tempat berpijak. Environmental Justice menegaskan jika yang paling miskin kehilangan rumah akibat laut yang naik, maka itu merupakan pengingkaran keadilan.

Indonesia adalah negara kepulauan dengan 13.000 lebih pulau, sebagian besar dengan elevasi rendah. Bahkan, Jakarta sendiri sudah disebut sebagai salah satu kota yang akan tenggelam. Namun, publikasi kesiapsiagaan Indonesia belum terlalu bergaung, padahal data tersedia dan bisa dikritisi. 

Sebagai negara pihak Paris Agreement dan UNFCCC, Indonesia telah mengambil sejumlah langkah strategis mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim, termasuk ancaman kenaikan permukaan laut. Pemerintah merancang Giant Sea Wall dan penguatan pesisir Pantura, upaya restorasi ekosistem mangrove Building with Nature di wilayah rawan rob. Di tingkat kebijakan, RAN-API, RPJMN, dan sistem pemetaan risiko berbasis data telah dikembangkan. Pemindahan ibukota ke Kalimantan juga merupakan langkah adaptif jangka panjang terhadap kerentanan struktural Jakarta akibat penurunan tanah dan kenaikan permukaan laut. 

Dalam kerangka pembiayaan, Indonesia menginisiasi green sukuk dan akses terhadap pendanaan adaptasi global. Melalui UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup beserta turunannya, Indonesia pun telah mengafirmasi pentingnya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

Meskipun langkah-langkah Pemerintah telah menunjukkan kesadaran akan ancaman perubahan iklim, namun secara substansial masih terkesan reaktif, parsial, dan belum terintegrasi dalam satu kerangka adaptasi nasional yang adil dan berkelanjutan. Dominasi pendekatan teknokratis seperti pembangunan tanggul raksasa belum diimbangi dengan kebijakan sistematis untuk mengendalikan penyebab struktural seperti penurunan muka tanah akibat eksploitasi air tanah. 

Pendekatan berbasis komunitas dan ekosistem yang terbukti inklusif dan berbiaya rendah masih tersebar secara sporadis, bergantung pada inisiatif donor atau LSM, dan belum menjadi bagian dari kebijakan wajib negara. 

Pemindahan ibu kota ke Kalimantan, meskipun diposisikan sebagai strategi adaptasi jangka panjang, lebih mencerminkan relokasi risiko daripada pembangunan ketangguhan kolektif dan multilevel governance. Ketimpangan kapasitas daerah dalam mengakses pendanaan, merancang kebijakan, dan melaksanakan adaptasi juga memperlebar jurang antara perencanaan nasional dan realitas lokal. 

Lebih mendasar lagi, muncul pertanyaan: apakah kebijakan yang bersifat sektoral dan terfragmentasi ini cukup menjawab mandat moral dan hukum perlindungan wilayah, masyarakat, dan generasi mendatang dari krisis yang bersifat struktural dan sistemik?

Berdasarkan Indonesia Country Climate and Development Report (CCDR) 2023, World Bank Group dan Asian Development Bank mengidentifikasi isu integrasi, tumpang tindih kewenangan, serta lemahnya sistem pemantauan dan akuntabilitas. Ini semua menyebabkan upaya Pemerintah belum dipandang efektif menjawab krisis bersifat lintas-wilayah dan lintas-generasi. Dalam perspektif climate justice alias kebijakan iklim yang berkeadillan, respons negara minim menjangkau masyarakat pesisir paling rentan dan terdampak, padahal mereka paling sedikit berkontribusi emisi. 

Untuk itu, penyelarasan harus dilakukan secara sistemik dan segera. Jika tidak, proyeksi hilangnya wilayah daratan sejengkal demi sejengkal semakin niscaya. Negeri ini butuh alarm kebijakan di level tertinggi, tindakan mitigasi dan adaptasi integratif, dan menempatkan climate justice di posisi sentral. 

Ketika sejengkal tanah terakhir karam dan kenangan terakhir larut, maka yang hilang bukan hanya daratan, tetapi tanggung jawab, keberadaban, dan janji kepada generasi mendatang pun ikut musnah.

Read Entire Article
Berita Republika | International | Finance | Health | Koran republica |