Revisi UU Kehutanan Harus Akhiri Paradigma Kolonial

1 day ago 14

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Revisi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (RUUK) dinilai harus menjadi titik balik dalam pengelolaan hutan di Indonesia. Sejumlah organisasi lingkungan menegaskan bahwa Indonesia tak boleh lagi bertumpu pada paradigma kolonial yang memandang hutan semata sebagai komoditas negara.

Kelompok-kelompok masyarakat sipil menilai revisi ini harus membuka ruang pengakuan penuh terhadap hak-hak masyarakat adat dan komunitas lokal sebagai penjaga hutan yang sah. Kampanye Forest Watch Indonesia (FWI) menyebut kerusakan hutan yang mencapai rata-rata 689 ribu hektare per tahun menjadi bukti urgensi perubahan kebijakan kehutanan secara mendasar.

“Jika tidak, Indonesia terancam gagal memenuhi target pengurangan emisi dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan (FoLU),” ujar Juru Kampanye FWI, Anggi Putra Prayoga, dalam diskusi daring yang digelar Senin (9/6/2025).

Anggi menyoroti tiga aspek utama yang harus menjadi pijakan dalam revisi UU Kehutanan. Pertama, perlunya mengubah cara pandang negara dalam mengeklaim penguasaan atas kawasan hutan. Ia mengkritik penetapan sepihak 106 juta hektare kawasan hutan oleh Kementerian Kehutanan, yang disebutnya hanya mengandalkan legalitas administratif tanpa legitimasi sosial.

“Anomali penetapan kawasan hutan melonjak 20 kali lipat dalam setahun terakhir, padahal sebelumnya hanya sekitar 500 ribu hektare per tahun. Kawasannya legal, tapi tidak sah di mata masyarakat adat dan lokal,” kata Anggi.

Kedua, ia menegaskan pentingnya menolak bentuk-bentuk kamuflase pembangunan berkelanjutan seperti program swasembada pangan dan energi yang justru melegitimasi perusakan hutan dan pengingkaran terhadap hak masyarakat.

Ketiga, RUUK harus mengakomodasi dan mengimplementasikan putusan Mahkamah Konstitusi, khususnya Putusan MK Nomor 34, 35, 45, dan 95, yang menegaskan pengakuan terhadap hak masyarakat adat dan pembatasan atas praktik perizinan ekstraktif yang merusak.

Anggota DPR RI dari Fraksi PKS, Riyono, menyatakan dukungan atas revisi UU Kehutanan dengan menekankan pentingnya keadilan bagi masyarakat adat dan integrasi pengelolaan hutan dengan sistem pangan nasional. “Penegakan putusan MK harus jadi bagian utama dalam revisi ini,” ujarnya.

Dalam forum yang sama, Raden dari WALHI Kalimantan Selatan menilai selama paradigma negara sebagai pemilik tunggal hutan masih dipertahankan, masyarakat adat akan terus dikorbankan. “RUUK harus berpihak pada keadilan ekologis dan pengakuan penuh atas hak-hak masyarakat adat Meratus,” tegasnya.

Sementara di Kalimantan Barat, A Syukri dari Link-Ar Borneo menyebut bahwa dominasi logika kolonial dan kepentingan kapital dalam tata kelola hutan membuat masyarakat sekitar tidak pernah menikmati manfaatnya. “Hutan tanaman industri bukanlah hutan, melainkan kebun monokultur. RUU ini bukan sekadar regulasi, ini soal keadilan,” ujarnya.

Darwis dari Green of Borneo Kalimantan Utara menambahkan, tanpa jaminan sosial, prinsip PADIATAPA (Persetujuan Atas Dasar Informasi di Awal Tanpa Paksaan), serta pelaksanaan nyata Putusan MK 35, revisi UU justru bisa memperparah konflik dan kriminalisasi atas nama pembangunan.

Sementara itu, Defri Setiawan dari WALHI Gorontalo menambahkan, warisan kolonialisme atas hutan di daerahnya kini muncul dalam bentuk baru seperti proyek bioenergi dan investasi monokultur di Pohuwato. “RUUK seharusnya menjadi koreksi atas ketimpangan historis ini, bukan alat legitimasi bagi korporasi,” ujarnya.

Read Entire Article
Berita Republika | International | Finance | Health | Koran republica |