No Corner of The Earth is Safe

1 day ago 12

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dr Mohammad Kholid Ridwan (Pengamat Lingkungan dan Energi, Dosen Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada)

Jika kita ingin menyepi di suatu tempat yang sunyi, bersih dari hiruk pikuk dan juga polusi, maka dipastikan kita tidak akan menemukan tempat tersebut saat ini, meskipun di ujung dunia yang paling ujung sekalipun. Hal ini pertama kali dikonfirmasi oleh penelitian di tahun 2019 oleh Melanie Bergmann berjudul "White and wonderful? Microplastics prevail in snow from the Alps to the Arctic" dalam jurnal Science Advances.

Melanie menemukan, bahwa meskipun berada di tempat yang sangat terpencil yaitu Svalbard (Norwegia) dan Selat Fram (keduanya di kutub utara) serta pegunungan Alpen Timur (Swiss) yang tergolong semi-terpencil, di kedua wilayah kutub tadi ditemukan 14.400 partikel per liter mikro plastik.

Angka konsentrasi di Pegunungan Alpen jauh lebih tinggi yaitu 73 ribu partikel per liter salju leleh. Di antara kandungan yang ditemukan adalah di daerah tersebut adalah: Varnish/lacquer (lapisan pelindung cat), nitril dan karet, poliamida (nylon), polietilena (PE) dan polipropilena (PP). Zat-zat tersebut cukup berbahaya untuk tubuh manusia.

Hasil riset terbaru di tahun 2025 berjudul "Microplastics in Antarctic snow: concentrations, polymer types and potential sources" memberikan data yang lebih merisaukan. Penelitian yang diterbitkan dalam Science of the Total Environment tersebut mencoba mencari jawaban di tempat yang lebih jauh lagi yaitu Kutub Selatan dan ditemukan konsentrasi mikroplastik berkisar antara 73 hingga 3.099 partikel per liter salju. Angka ini 100 kali lebih tinggi dibandingkan studi sebelumnya di tempat yang sama.

Temuan tersebut memberikan beberapa pelajaran penting bagi manusia bahwa tidak ada lagi tempat yang aman bagi manusia. Membayangkan liburan ditempat segar supaya tubuh kita bisa melakukan relaksasi sekaligus recovery adalah hal yang mustahil saat ini, bahkan dengan membayar dengan harga berapapun!

Hal ini tentu membuat kita sedih, karena ini terjadi di saat manusia mendapatkan dirinya hidup dalam gelimang teknologi tinggi yang serba unggul dan mumpuni bahkan dengan tingkat percepatan yang luar biasa. Kecepatan manusia dalam menduplikasi teknologi tidak hanya mengikuti kurva linear, bahkan eksponensial (Ray Kurzweil menyebutkannya sebagai The Law of Accelerating Returns).

Di saat ini manusia justru kehilangan sesuatu yang sangat berharga, bahkan paling berharga untuk hidupnya, yaitu rusaknya rumah, tempat tinggalnya, yaitu lingkungan hidupnya.

Gagasan tentang perbaikan alam atau lingkungan yang sifatnya lokalistik atau “per area” akan menjadi kurang efektif, mengingat bumi dan lingkungan kita hanya satu dan saling terhubung dalam satu kesatuan tanah, air dan udara. Beberapa tempat yang terkenal bersih seperti Jepang, Singapura, negara-negara wilayah Skandinavia tentu bisa dijadikan contoh dan bagus untuk diapresiasi. Namun mereka tidak boleh abai tentang kotornya bumi di bagian yang lain.

Jika perbaikan lokalistik saja kurang efektif, maka egoisme lokalistik dalam hal lingkungan akan semakin tidak masuk akal dan menggelikan. Sikap Donald Trump pada hari pelantikannya yaitu 20 Januari 2025 yang melakukan executive order 14162 dan menginstruksikan penarikan segera dari perjanjian Paris dan penghentian semua komitmen keuangan AS terkait perjanjian tersebut untuk kedua kalinya (setelah kejadian serupa di tahun 2017) adalah sikap kekanak-kanakan.

Alih-alih memperbaiki bumi dan lingkungan, dengan executive order tersebut seolah olah Trump ingin mengatakan “Kami orang Amerika tidak berasal dari bumi yang sama dengan kalian. Bumi kalian mungkin terancam, bumi kami tidak akan terancam!”. Sebuah gagasan yang sangat absurd.

Selamat hari lingkungan hidup, semoga kita diberi kesadaran untuk lebih memahami tentang hidup dan lingkungan hidup.

Read Entire Article
Berita Republika | International | Finance | Health | Koran republica |