Oleh : Jaharuddin, Dosen FEB Universitas Muhammadiyah Jakarta
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Saya mengikuti penyelenggaraan ibadah haji tahun ini dari kejauhan. Dari layar gawai, dari potongan berita, dari unggahan-unggahan orang-orang yang saya kenal maupun yang tidak. Setiap kali menyaksikan Ka’bah disiarkan, hati ini bergemuruh. Ada rindu yang tak pernah padam untuk kembali ke sana. Bersama istri, bersama anak-anak, membawa orang tua yang kian menua. Membayangkan mereka menjejak tanah suci, menangis dalam sujud panjang, seperti yang pernah saya alami dulu, adalah bayangan yang membuat dada ini sesak oleh harap.
Namun kerinduan itu tidak datang sendiri. Ia datang bersisian dengan kegelisahan. Tahun ini, salah satu topik yang ramai diperbincangkan adalah tentang mereka yang gagal berangkat melalui jalur haji furoda—jalur non-kuota yang sejatinya legal di Arab Saudi, namun belum sepenuhnya tuntas dalam pengelolaannya. Biayanya bukan sembarangan. Dari satu sumber disebutkan berkisar antara Rp 373 juta hingga Rp 975 juta. Bandingkan dengan haji plus yang mulai dari Rp 159 juta, dan haji reguler yang jauh lebih rendah namun membutuhkan waktu tunggu belasan hingga puluhan tahun. Sementara mereka yang mengambil jalur furoda cukup membayar mahal, dan dalam waktu cepat dapat diberangkatkan—jika visanya tidak bermasalah.
Tahun ini, visa furoda tak dikeluarkan sama sekali oleh otoritas Saudi. Ribuan orang yang sudah siap berangkat harus menelan kenyataan pahit. Ada yang kecewa, marah, sedih. Sebagian merasa dirugikan, sebagian menganggap ini cobaan. Tetapi bagi saya, ini justru momentum yang sangat baik untuk melakukan perenungan mendalam, bukan hanya soal teknis keberangkatan, tetapi juga soal mengapa kita berhaji.
Idul Adha yang datang bersamaan dengan puncak haji, adalah momen spiritual yang paling agung dalam Islam. Ia bukan sekadar hari raya penyembelihan hewan qurban. Ia adalah simbol tentang bagaimana manusia diminta untuk menyembelih sisi gelap dalam dirinya. Menyembelih ego, nafsu, kerakusan, keinginan untuk menonjolkan diri, dan kehausan akan eksklusivitas. Di sanalah letak kemuliaannya.
Dan justru di titik inilah kita perlu bertanya lebih jujur kepada diri sendiri, sudahkah kita benar-benar menyembelih sifat-sifat hewani itu ketika berhaji? Atau justru kita sedang membawanya ke tanah suci, dengan rupa yang lebih rapi dan harga yang lebih mahal?
Saya tidak hendak menyalahkan siapa pun. Tidak pula bermaksud merendahkan mereka yang mengambil jalur furoda. Tetapi ketika kita hidup di tengah realitas sosial yang timpang, ketika ada saudara-saudara kita yang menabung puluhan tahun hanya agar bisa menyentuh Ka’bah sekali dalam hidupnya, maka berhaji melalui jalur mahal yang menyingkirkan antrean panjang, terasa seperti mengabaikan satu hal mendasar dalam Islam, kepedulian sosial.
Kita tahu, ada mereka yang berkali-kali haji. Berulang kali umrah. Karena jabatan, karena kekayaan, atau karena kemudahan fasilitas. Tapi pernahkah kita bertanya dalam hati, adakah air mata yang kita tahan, saat tahu bahwa jutaan orang lain hanya bisa menatap tanah suci dalam mimpi? Adakah rasa tidak enak di hati, ketika kita memamerkan fasilitas istimewa yang kita nikmati dalam perjalanan ibadah, sementara yang lain bahkan tak mampu membeli paspor?
Bukan sekali dua kali kita melihat unggahan jemaah haji yang begitu gemerlap. Hotel mewah, makanan berlimpah, foto-foto dari pesawat kelas bisnis. Semua ditampilkan sebagai bagian dari “perjalanan spiritual”. Padahal spiritualitas sejati tidak lahir dari kenyamanan, tapi dari keterbatasan yang kita syukuri. Dari keikhlasan melepas hak demi memberi jalan bagi orang lain. Dari diam yang lebih banyak berisi doa, bukan decak kagum atas fasilitas yang didapat.
Apa yang terjadi tahun ini, ketika calon haji furoda gagal berangkat, adalah cermin yang disodorkan langsung ke depan wajah kita. Kita diminta bercermin, apakah selama ini kita benar-benar berhaji karena Allah, atau karena ego kita yang begitu lihai menyamar sebagai niat baik?
Bisa jadi, justru kegagalan berangkat itu lebih afdal daripada perjalanan yang penuh kemewahan namun miskin kepekaan. Bisa jadi, uang hampir satu miliar yang gagal dipakai untuk haji, jauh lebih bernilai jika dialihkan untuk memberangkatkan sepuluh orang yang belum pernah haji. Bisa jadi, Allah sedang menegur bukan karena kita salah, tetapi karena kita lupa bahwa ibadah yang tidak berpihak pada sesama, bisa menjadi bentuk pengabaian atas nilai Islam itu sendiri.
Pemerintah memang perlu meregulasi jalur furoda ini secara lebih ketat dan menyeluruh. Tidak hanya dalam aspek teknis perizinan, tetapi juga dalam konteks moral dan keadilan sosial. Harus ada pembatasan berhaji berulang kali, terutama bagi mereka yang mendapat fasilitas karena jabatan atau status tertentu. Harus ada keberanian untuk mengatakan bahwa ibadah bukanlah hak istimewa yang bisa diklaim oleh mereka yang berkuasa atau berpunya. Bahwa di hadapan Allah, semua manusia sama. Yang membedakan hanyalah ketakwaan, bukan harga kursi pesawat.
Tapi sebelum semua itu dilakukan pemerintah, perubahan harus dimulai dari kesadaran kita masing-masing. Kesadaran bahwa ibadah, sebesar apa pun itu, tak akan bernilai jika dijalani dengan cara-cara yang melukai keadilan. Bahwa haji, pada hakikatnya, adalah perjalanan spiritual untuk menyadari bahwa kita bukan siapa-siapa. Bahwa di hadapan Ka’bah, semua gelar dan kemewahan runtuh, yang tersisa hanya jiwa yang telanjang dalam penghambaan.
Idul Adha mengingatkan kita bahwa Ibrahim yang begitu taat, rela menyembelih anaknya sendiri demi memenuhi perintah Tuhan. Dan Ismail yang begitu patuh, rela disembelih demi mengabdi kepada Allah. Maka siapa kita, jika bahkan menyembelih ego sendiri pun kita enggan? Siapa kita, jika bahkan menahan diri demi memberi jalan bagi orang lain pun tak mampu kita lakukan?
Semoga kegagalan haji furoda tahun ini menjadi bukan hanya berita sedih, tetapi juga alarm rohani bagi kita semua. Bahwa berhaji tidak cukup hanya karena mampu, tetapi harus disertai dengan jiwa yang peduli. Dan semoga, setiap langkah kita menuju tanah suci, selalu disertai dengan kerendahan hati untuk mengakui bahwa tak semua hal bisa—atau harus—dibeli. Karena yang paling mahal dalam ibadah bukan tiketnya, tetapi keikhlasan dan rasa takut kehilangan berkahnya.