Konten Edukasi Sepi yang Ramai Malah Konten Sensasi, Apa yang Salah dengan Kita?

2 months ago 110

Image NI Made Ayudya Dewanti

Eduaksi | 2025-06-24 20:57:48

Di zaman digital yang serba cepat ini, kita sering melihat kenyataan yang cukup membuat gelisah. Konten edukasi yang isinya bermanfaat justru jarang diminati, sedangkan konten sensasi yang dangkal, penuh kontroversi, bahkan kadang meresahkan, malah ramai dibicarakan dan viral di mana-mana. Seolah-olah, makin tidak mendidik suatu konten, justru makin besar kemungkinannya menjadi trending. Jadi, sebenarnya ada apa dengan kita?

Dalam pandangan psikologi, fenomena ini bisa dijelaskan lewat yang namanya gratifikasi instan, yaitu dorongan alami manusia untuk memilih sesuatu yang cepat memberi rasa senang, walaupun manfaatnya tidak terlalu besar atau hanya sebentar. Otak kita memang cenderung mencari hiburan yang ringan dan bisa memberikan kenyamanan secara emosional dalam waktu singkat, ketimbang konten edukatif yang membutuhkan fokus dan pemikiran. Ditambah lagi, ada budaya FOMO alias Fear of Missing Out, yang membuat kita merasa harus terus mengikuti tren agar tidak merasa tertinggal, padahal belum tentu tren tersebut berkualitas.

Tapi kalau kita hanya melihat dari sisi psikologis saja, kita jadi lupa bahwa sebenarnya kita juga punya tanggung jawab sebagai warga negara Indonesia. Nilai-nilai dalam Pancasila, khususnya sila kedua tentang “Kemanusiaan yang adil dan beradab” dan sila kelima tentang “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” sebenarnya mengajak kita untuk menciptakan ruang digital yang sehat, adil, dan berguna bagi semua orang. Memberi panggung besar pada konten-konten yang merusak justru tidak sejalan dengan semangat Pancasila itu sendiri.

Lebih lanjut, dalam Pasal 28C Ayat (1) UUD 1945 dijelaskan bahwa “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi...” Ketika konten edukasi tenggelam karena tidak mendapat dukungan masyarakat, kita secara tidak langsung mengabaikan hak masyarakat untuk berkembang secara intelektual.

Masalah ini bukan cuma soal kita memilih mau menonton apa, tapi juga soal bagaimana karakter bangsa terbentuk. Kalau anak-anak dan remaja lebih sering melihat konten yang isinya pamer harta, drama setting-an, atau perilaku nyeleneh yang dianggap lucu, maka jangan kaget jika nantinya muncul masalah seperti kurang empati, kebingungan dalam membentuk jati diri, atau rendahnya minat baca dan berpikir kritis. Ini bisa menjadi masalah psikologis dan sosial yang nyata di sekitar kita.

Sebagai generasi yang sudah akrab dengan dunia digital, kita sebenarnya punya tanggung jawab moral dan sosial untuk membantu mengarahkan isi dunia maya ke arah yang lebih positif. Caranya bisa dimulai dari hal kecil, seperti memberi dukungan kepada kreator yang membuat konten edukatif, lebih sering membagikan informasi yang bermanfaat, dan mengurangi interaksi dengan konten yang hanya menyuguhkan sensasi tanpa makna.

Kalau kita mau ruang digital menjadi tempat yang sehat dan bermakna, semuanya kembali lagi ke pilihan kita, mau terus menikmati yang sensasi, atau mulai mendukung yang mendidik.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Read Entire Article
Berita Republika | International | Finance | Health | Koran republica |