Hasan Albana
Alkisah | 2025-07-31 16:21:01

Karena Buaya (Sukardi)
Hidup di kota, tantangan agar bertahan hidup dan terhindar dari segala bentuk celaka kehidupan adalah dari kecelakaan mobil, tergencet kereta api, jatuh dari pesawat terbang, jatuh dari gedung lantai 20, dan lain sebagainya. Berbeda halnya ketika harus hidup disebuah tempat yang jauh dari hingar bingar kemudahan hidup oleh teknologi dan kemudahan lainnya. Sukardi, adalah sosok mungil kecil bertubuh tambun yang memiliki cita-cita tinggi, sorot mata yang tajam menandakan ia ingin menjadi seorang yang lebih sukses dari orang tuanya. Apa daya, september 2024 ia berubah drastis menjadi seorang yang pendiam, sering merenung, tatapan tanpa arah dan tanpa harapan.
Perbincangan tidak terarah, tidak mudah ditebak, dan kadang linglung. Raut kesedihan masih nampak hingga harapan itu muncul melalui pendidikan. Sosok guru di CLC Malaysia memotivasinya agar berjuang melalui pendidikan untuk membahagiakan ayahnya yang telah tiada. Hidup di tengah ladang sawit memang tidaklah mudah, akses pendidikan yang jauh serta kondisi alam yang ketika panas sangatlah terik dan ketika hujan jalan harus berlubang dan teruk membuat asa pendidikan pasang surut.
Sukardi mulai nampak semangat ketika harus berkumpul bersama teman temannya bilangan Juli 2025 atau belum genap 1 tahun sejak kepergian ayahnya, raut optimisme mulai muncul bersama para guru dan lingkungan sekolah yang jauh dari idealisme tingkat Kota di Indonesia. Beralaskan papan, beratapkan seng, dan berdidingkan papan, membuat kesederhanaan sekolah serta para penghuninya tidak luntur oleh derasnya angin di kepungan sawit. Buaya, monyet, anjing, gajah, dll adalah hewan-hewan penghias ladang sawit yang jauh dari jalan raya.
Tidak cukup 1 sampai 2 jam untuk mencapainya, namun kesabaran adalah kunci untuk hidup di tengah kampung yang suci pikiran perkataan dan perbuatan cerminan semboyan pramuka, nir iri hati karena senasib dan sepenanggungan, sama sama jauh di rantau dan mencari nafkah bersama, berdarah sama merah dan bertulang sama yakni putih, merah putih ada di dada meskipun terkadang sayup-sayup lagu Indonesia Raya karya WR Supratman salah liric, hal tersebut bukan menjadi pertanda nasionalisme mereka rendah, dengan melihat semangatnya dan kebanggaan mereka kepada lambang negara bendera merah putih, wajah presiden Prabowo dan wakilnya Gibran dipajang penuh bangga di dinding-dinding untuk dikatakan bersama bahwa ‘itu presidenku’, ‘ itu benderaku’, ‘aku orang Indonesia’ dan berbagai kalimat lainnya yang sangat syahdu dan bepower bila dipekikkan oleh para rantau sejati di negeri Jiran ini.
Sukardi kecil mulai mengerti akan berbagai hal, termasuk liku kehidupan, diantarkan oleh sang kakak yang pendiam putaran demi putaran roda motor melewati terjalnya jalan menuju sekolah. Di kala istirahat tidaklah dunkin donut yang dikeluarkan, bukanlah pepsi, bukanlah KFC, namun cukup nasi kuning di dalam kresek serta cuilan perkedel seharga 1 Ringgit menjadi jajanan makan dikala istirahat.
Sembari mengunyah nasinya, Sukardi bercerita bahwa ayahnya yang seorang juru tombak sawit, kalanya memancing ikan di sungai, ia tidak menyadari darahnya diintai oleh hewan bertaring tajam tersebut, lihai dalam diamnya, mengendap-endap tanpa terdengar jejak langkahnya, dalam hitungan detik sergapan buaya tersebut tepat mengenai sasaran mematikan yakni jantung sang ayah, pertanda tubuhnya di koyak-koyak sebagai sarapan pagi buaya. Ditelannya seluruh tubuh ayah Sukardi tanpa tersisa. Teriakan minta tolong serta warga yang melihat tanpa daya apa yang harus diperbuat. Hitungan menit tubuh itu lenyap bersama buaya.
Kabar sedih tanpa ada yang berani menyampaikan pada keluarga Sukardi, semua bingung bagaimana cara menyampaikan kabar tersebut kepada Sukardi kecil, kakak, serta ibunya. Bukan karena dilindas truk besar, bukan karena terguling di jalan tol karena ngebut seperti orang-orang kota. Namun tubuhnya hilang di telan buaya yang lapar.
Sepapndai menyembunyikan kabarpun ia tercium juga, raungan dan tangisan membahana di langit atap divisi 3 dan 4. Seluruh warga tanpa suara, sedih dan murung meratapi kenyataan yang pahit, salah satu warga terbaiknya yang baik hati, yang ceria, dan penyayang keluarga, meninggal di telan Buaya. Sukardi menjadi yatim karena buaya. Kasak-kusuk semua mencoba menebak, kasak-kusuk semua mencoba menjadi paranormal, ada apa gerangan buaya yang biasanya nampak bersahabat, tetibanya mencari mangsa, pernah kalanya anak buaya dibunuh oleh warga, dendang induk buaya dikira tepat waktunya dan memang sudah saatnya. Dimuntahkannya isi perut ayah sukardi oleh sang buaya, berhamburan menghiasi sungai yang memerah karena darah.
Semuanya adalah cerita dan tebak-tebakkan warga, bisa benar dan bisa salah. Terpenting adalah mencoba berdamai dengan alam, karena semua akan seimbang ketika tidak saling mengganggu, semua akan aman bila hidup pada porsinya masing-masing. Insting kehati-hatian perlu dipergunakan terlebih bila hidup di tengah hutan yang hukum di dalamnya terkadang yang kuatlah yang akan berkuasa.
Sukardi, adalah sosok kecil yang akan berjuang mengarungi kehidupan tanpa seorang ayah semenjak kecil, cerita tentang ayahnya yang ditelan buaya akan terus menghiasi langkah hidupnya, berharap motivasi untuk menjadi pribadi yang sukses dalam menaungi dirinya.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.