Perseteruan Trump-Musk Picu Krisis Terbesar di NASA

5 hours ago 3

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Perseteruan antara Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan CEO SpaceX Elon Musk terkait RUU pajak memperparah ketidakpastian masa depan anggaran NASA, yang kini menghadapi pemangkasan besar-besaran.

Badan antariksa AS itu telah mengajukan permintaan anggaran kepada Kongres, yang mencakup pemotongan dana untuk proyek sains hampir sebesar 50 persen. Sebanyak 40 misi ilmiah, baik yang masih dikembangkan maupun yang sudah mengorbit, terancam dihentikan.

Presiden Trump juga mengancam akan menarik kontrak federal dengan perusahaan Musk, SpaceX. Padahal, NASA sangat bergantung pada armada roket Falcon 9 milik SpaceX untuk memasok Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS), serta pada roket Starship untuk misi pengiriman astronot ke Bulan dan Mars di masa depan.

Dr Simeon Barber, ilmuwan antariksa, menyebut ketidakpastian tersebut memiliki "dampak yang mengerikan" terhadap program antariksa berawak. “Ilmu pengetahuan dan eksplorasi luar angkasa membutuhkan perencanaan jangka panjang serta kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan akademisi,” ujarnya.

Selain ketegangan antara Trump dan Musk, Gedung Putih juga meminta pemangkasan anggaran besar bagi NASA, kecuali pada program pendaratan manusia di Mars yang justru mendapat tambahan dana sebesar 100 juta dolar AS.

Menurut Casey Dreier, kepala kebijakan antariksa dari Planetary Society, potensi pemangkasan tersebut merupakan “krisis terbesar yang pernah dihadapi program luar angkasa AS.”

NASA menyatakan bahwa permintaan anggaran baru ini bertujuan “menyelaraskan portofolio sains dan teknologi dengan misi prioritas eksplorasi Bulan dan Mars.”

Dr Adam Baker dari Universitas Cranfield mengatakan jika usulan ini disetujui, fokus NASA akan berubah secara mendasar. “Trump ingin NASA mendaratkan astronot di Bulan sebelum Tiongkok dan menancapkan bendera AS di Mars. Selain itu, semuanya dianggap sekunder,” ujarnya dilansir laman BBC News.

Para pendukung pemotongan anggaran berpendapat rencana Gedung Putih memberi NASA arah yang jelas, serupa dengan era Apollo 1960-an, saat AS berlomba dengan Uni Soviet. Kritikus NASA menilai lembaga itu kini terlalu birokratis dan kerap boros anggaran untuk misi luar angkasa.

Contoh yang sering disorot adalah Sistem Peluncuran Luar Angkasa (SLS), roket baru NASA untuk misi kembali ke Bulan, yang pembangunannya mengalami keterlambatan dan biaya per peluncuran mencapai 4,1 miliar dolar AS. Sebagai pembanding, Starship milik SpaceX diperkirakan hanya membutuhkan sekitar 100 juta dolar AS karena dapat digunakan kembali. Blue Origin milik Jeff Bezos juga menjanjikan efisiensi serupa melalui roket New Glenn.

Gedung Putih mengusulkan penghapusan SLS dan mengandalkan Starship dan New Glenn sebagai penggantinya. Namun, tiga peluncuran uji coba Starship terakhir mengalami kegagalan, sementara roket Bulan Blue Origin baru memasuki tahap awal pengujian.

Yang lebih mencemaskan, menurut Barber, adalah potensi hilangnya 40 misi sains luar angkasa, termasuk yang berkaitan dengan pemantauan perubahan iklim dari orbit dan kolaborasi internasional yang telah berlangsung lama. “Sangat menyedihkan melihat capaian bertahun-tahun dapat runtuh begitu cepat tanpa rencana untuk membangunnya kembali,” kata Barber.

Read Entire Article
Berita Republika | International | Finance | Health | Koran republica |