Perang Sudan, Buah Pertikaian Negara Kolonial

9 hours ago 7

Image Ika Bunda i i

Dunia islam | 2025-11-02 05:49:05

Dunia memiliki ingatan selektif. Sementara perhatian global tersedot pada tragedi yang meletus pasca 7 Oktober 2023 di Gaza, di sudut lain Afrika, sebuah genosida modern yang jauh lebih luas dan brutal telah berlangsung dalam bayang-bayang. Perang Sudan, yang berkobar sejak April 2023, telah menelan puluhan ribu nyawa, memicu krisis pengungsian terbesar di planet ini dengan jutaan orang terlantar, dan menghancurkan sebuah negara.

Ini bukan hanya konflik internal, melainkan sebuah pertunjukan keji di mana kepentingan geopolitik asing bermain, memanipulasi, dan memicu kehancuran untuk keuntungan mereka sendiri. Tragedi Sudan, dengan skala kekerasan etnis, kelaparan yang diinduksi, dan kehancuran sistematisnya, sejatinya jauh lebih mengerikan dan meluas daripada hampir semua tragedi konflik lainnya di dunia saat ini, namun sayangnya, ia tetap tersembunyi dari sorotan internasional.

Panggung Sudan adalah medan perebutan kekuasaan yang telah disiapkan dan dieksploitasi oleh beragam pemain, baik dari kawasan maupun kekuatan global, yang bertopeng sebagai mitra atau mediator.

Kekuatan regional seperti Mesir, dengan kekhawatiran abadi akan keamanan air Sungai Nil, secara historis telah mencoba mempengaruhi politik Sudan untuk menjamin aliran sungai vital tersebut. Mereka mungkin memandang konflik ini sebagai peluang untuk membentuk pemerintahan yang lebih akomodatif terhadap kepentingan air mereka.

Di sisi lain, Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA) melihat Sudan sebagai investasi strategis untuk keamanan pangan (lahan pertanian subur di sepanjang Nil) dan sebagai pos terdepan di Laut Merah yang vital untuk jalur perdagangan mereka, serta untuk melawan pengaruh Iran di kawasan tersebut. Dukungan mereka terhadap faksi militer tertentu telah memperpanjang dan memperparah konflik. Bahkan tetangga seperti Ethiopia dan Eritrea kadang-kadang memainkan peran ganda, mendukung atau menekan kelompok-kelompok bersenjata di perbatasan, memanfaatkan kekacauan untuk keuntungan geopolitik mereka sendiri.

Tidak ketinggalan adalah kekuatan global. Tiongkok, dengan kepentingannya yang besar di sektor minyak dan pertambangan Sudan (terutama emas), telah lama mengadopsi kebijakan "non-intervensi" yang memungkinkan mereka berbisnis dengan rezim mana pun, bahkan yang represif. Bagi Tiongkok, stabilitas ekonomi dan akses terhadap sumber daya lebih penting daripada hak asasi manusia atau demokrasi. Kehadiran mereka memastikan aliran kekayaan alam Sudan terus mengalir ke pasar Tiongkok.

Sementara itu, Rusia telah muncul sebagai pemain kunci yang semakin agresif. Dengan pasokan senjata, dukungan militer, dan potensi pangkalan angkatan laut di Laut Merah, Rusia tidak hanya mengincar akses ke sumber daya mineral berharga (terutama emas yang dilaporkan diselundupkan untuk mendanai perang Ukraina) tetapi juga mencari pijakan strategis untuk menantang tatanan global yang didominasi Barat. Kelompok Wagner (meskipun kini telah berevolusi) adalah bukti nyata bagaimana Rusia mengeksploitasi kekacauan untuk memperluas pengaruh geopolitiknya di Afrika.

Sudan adalah negara yang dianugerahi dengan potensi strategis dan politis yang luar biasa, baik secara regional maupun global. Lokasinya yang krusial di persimpangan Afrika dan Timur Tengah menjadikannya jembatan darat penting yang menghubungkan berbagai sub-kawasan. Garis pantainya di Laut Merah adalah gerbang maritim ke salah satu jalur pelayaran tersibuk di dunia. Sungai Nil, yang dua cabangnya bertemu di Khartoum, menempatkan Sudan sebagai penjaga hidropolitik yang vital bagi negara-negara hilir. Ditambah lagi, kekayaan sumber daya alamnya—emas, minyak, mineral, dan tanah pertanian subur—seharusnya menjadi pondasi bagi kemakmuran. Namun, semua potensi ini justru menjadi kutukan.

Pada akhirnya, Sudan yang seharusnya menjadi negara kaya dan jembatan penghubung yang luar biasa, telah dihancurkan dan terpuruk ke dalam jurang kehancuran. Bukan karena kurangnya potensi, melainkan karena ia menjadi papan catur bagi permainan kepentingan geopolitik yang rakus dan tidak berperasaan.

Para "penjajah" modern, baik regional maupun global, menari di atas reruntuhan Sudan, berebut pengaruh dan sumber daya, memicu konflik dari jauh, dan membiarkan rakyat Sudan menderita dalam kebisuan yang memekakkan telinga dunia. Ini adalah harga mahal dari sebuah negara kaya yang terjebak dalam skenario pembersihan pengaruh, di mana kemanusiaan dan kedaulatan dibantai demi keuntungan.

Para kolonialis sibuk mecengkramkan pengaruhnya di Sudan. Tanpa melihat berapa nyawa yang telah mereka musnahkan. Penjajahan para kolonialis ini harus segera dihentikan. Bukan dengan mekanisme sistem kebangsaan saat ini, yang menjadikan AS sebagai raja dan PBB tangan kanannya. Namun dengan mekanisme lain yang berdaulat. Yang memulyakan semua manusia dan bisa merahmati seluruh alam semesta. Yakni mekanisme sistem Islam.

.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Read Entire Article
Berita Republika | International | Finance | Health | Koran republica |