Esensi Puasa dalam Kajian Fiqih 4 Mazhab tentang Hukum, Jenis, dan Manfaatnya

10 hours ago 6

Image muhammad syauqi asy syadzili

Agama | 2025-08-01 20:13:10

Esensi Puasa dalam Kajian Fiqih 4 Mazhab tentang Hukum, Jenis, dan Manfaatnya

Disusun Untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Praktikum Qiraah dan Ibadah Dosen Pengampu: Fitriana, M.A, M.Ed, Ph.D.

DISUSUN OLEH KELOMPOK 11:

Moch Afrizal Fahriansyah Azis (12403031020024)

M.Syauqi Hasby Asy Syadzili (12403031040115)

M.Nabil Syabani (12403031050177)

Puasa merupakan salah satu ibadah utama dalam Islam yang memiliki dimensi hukum, spiritual, dan sosial. Kajian fiqih terhadap puasa dalam empat mazhab utama—Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali—menunjukkan adanya kesepakatan dan perbedaan dalam hal hukum, jenis, dan manfaat puasa. Keempat mazhab sepakat bahwa puasa Ramadan adalah wajib bagi setiap Muslim yang memenuhi syarat, berdasar QS. Al-Baqarah: 183. Namun, terdapat variasi teknis seperti ketentuan niat dan hal-hal yang membatalkan puasa. Mazhab Hanafi dan Hanbali mensyaratkan niat sebagai syarat sah puasa, sementara Syafi’i menetapkan niat sebagai rukun yang harus dilakukan sebelum fajar, dan Maliki membolehkan niat hingga sepanjang malam sebelum fajar.

Dari sisi jenisnya, puasa dalam Islam terbagi menjadi puasa wajib (Ramadan, nazar, qadha, dan kafarat), puasa sunnah (Senin-Kamis, Arafah, Daud, dan lainnya), puasa makruh (seperti puasa Jumat saja), dan puasa haram (pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha). Masing-masing mazhab memberikan klasifikasi dan penjelasan pelaksanaan yang rinci sesuai dalil Al-Qur’an, hadis, dan pendapat ulama klasik.

Manfaat puasa dilihat tidak hanya sekadar menahan lapar dan haus, tetapi juga menyangkut penguatan spiritual (mendekatkan diri kepada Allah, meningkatkan ketakwaan, melatih pengendalian diri), manfaat sosial (melatih empati terhadap kaum kurang mampu, memperkuat solidaritas sosial), serta manfaat kesehatan (detoksifikasi tubuh, mengontrol berat badan, menjaga kesehatan jantung dan metabolisme). Rasulullah SAW menegaskan keistimewaan puasa sebagai ibadah yang penuh dengan pahala dan hikmah, serta diyakini membuka pintu surga khusus bagi golongan yang berpuasa.

Secara keseluruhan, pemahaman mendalam atas esensi puasa dalam perspektif fiqih empat mazhab dapat membimbing umat Islam untuk melaksanakan ibadah ini dengan benar, sadar, dan penuh keikhlasan, sehingga puasa menjadi sarana utama pembentukan pribadi yang bertakwa, berkarakter, dan beriman kokoh baik secara lahiriah maupun batiniah

Kata kunci : Puasa, Fiqih, Empat Mazhab, Hukum Puasa, Manfaat Puasa

Puasa dalam Islam bukan sekadar menahan lapar dan dahaga, melainkan sebuah ibadah yang mengandung makna spiritual dan sosial yang mendalam. Allah SWT memerintahkan puasa sebagai salah satu rukun Islam yang wajib dilaksanakan oleh setiap Muslim yang baligh dan berakal. Dalam kajian fiqih, puasa memiliki hukum yang jelas, jenis-jenis yang beragam, serta manfaat yang luas bagi individu dan masyarakat. Keempat mazhab utama dalam Islam Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali memberikan penafsiran dan penjelasan yang rinci terkait aspek-aspek tersebut. Artikel ini akan menguraikan esensi puasa dari sudut pandang keempat mazhab tersebut, dengan fokus pada hukum, jenis, dan manfaat puasa.

Landasan Hukum Puasa dalam Al-Qur’an dan Hadis

Puasa Ramadhan diwajibkan berdasarkan firman Allah SWT:

اَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ ۝١٨٣

"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa." (QS. Al-Baqarah: 183)[1].

Selain itu, banyak hadis yang menegaskan keutamaan dan kewajiban puasa, di antaranya:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِ

"Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan karena iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni." (HR. Bukhari dan Muslim).

 Hukum Puasa Menurut Imam Hanafi

Puasa menurut mazhab Hanafi adalah ibadah wajib yang harus dilaksanakan oleh setiap Muslim yang telah memenuhi syarat tertentu. Puasa wajib terutama adalah puasa Ramadan yang diwajibkan bagi orang yang baligh, berakal, sehat, dan mampu berpuasa tanpa ada halangan yang dibenarkan syariat. Dalam mazhab Hanafi, puasa memiliki karakteristik dan syarat yang rinci, terutama terkait dengan niat dan hal-hal yang membatalkan puasa.

1. Status Hukum Puasa

Menurut Imam Hanafi, puasa Ramadan wajib atas setiap Muslim yang memenuhi syarat berdasarkan dalil:

اَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ ۝١٨٣

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183)

Dalam kitab-kitab fiqih Hanafi disebutkan bahwa puasa wajib ini bersifat fardhu ‘ain (kewajiban pribadi) yang tidak boleh ditinggalkan kecuali karena uzur syar’i (seperti sakit dan safar).

2. Syarat Sah Puasa

Mazhab Hanafi menetapkan syarat sah puasa yang harus dipenuhi agar puasa dianggap valid, antara lain:

· Beragama Islam

· Baligh (sudah dewasa) dan berakal sehat

· Suci dari haid dan nifas bagi wanita selama puasa

· Mampu berpuasa tanpa ada uzur yang membolehkannya berbuka

· Niat puasa (niat dianggap sebagai syarat sah, bukan rukun)

Niat puasa menurut Hanafi adalah kesengajaan atau kehendak dalam hati untuk menjalankan ibadah puasa pada hari tertentu. Niat ini boleh dilakukan kapan saja pada hari tersebut, yaitu dari waktu terbit fajar sampai tengah hari (zawal). Jika seseorang lupa berniat dan hanya menahan lapar dan haus tanpa niat, maka puasanya dianggap tidak sah dan wajib menggantinya (qadha). Namun, tidak wajib membayar kafarat dalam kasus ini.

3. Waktu Niat

Salah satu perbedaan khas mazhab Hanafi dengan mazhab lain adalah tentang waktu niat. Dalam mazhab Hanafi, niat puasa bisa dilakukan kapan saja pada hari itu sebelum masuk waktu dzuhur (pertengahan siang):

· Ini berarti seseorang masih boleh berniat berpuasa di siang hari selama belum melewati pertengahan waktu siang.

· Jika tidak berniat sama sekali, puasa tersebut dianggap tidak sah, meskipun secara lahiriah orang tersebut menahan makan dan minum.

Sedangkan mazhab lain, seperti Syafi’i, mewajibkan niat dilakukan sebelum fajar.

4. Hal-hal yang Membatalkan Puasa

Mazhab Hanafi sejalan dengan mazhab lainnya mengenai hal-hal yang membatalkan puasa, antara lain:

· Makan dan minum secara sengaja

· Muntah dengan sengaja

· Hubungan suami istri di siang hari puasa

· Haid dan nifas yang datang selama puasa

· Keluar air mani karena sengaja (mencapai syahwat)

· Memasukkan sesuatu ke dalam rongga tubuh yang melalui jalan terbuka (terutama ke perut atau kepala)

5. Kewajiban Mengqadha dan Kafarat

Jika puasa batal karena hal-hal yang membatalkan di atas atau karena tidak berniat, menurut Hanafi seseorang wajib menggantinya (qadha) di hari lain. Namun dalam mazhab Hanafi:

· Menunda qadha puasa Ramadan sampai Ramadan berikutnya dibolehkan tanpa harus membayar fidyah atau denda.

· Kafarat (denda puasa) hanya wajib jika batalnya puasa dikarenakan sengaja berbuka tanpa uzur, bukan karena lupa niat atau sakit.Jika puasa batal karena sakit atau haid, tidak wajib kafarat tetapi wajib qadha ketika sudah sembuh[1]

Hukum Puasa Menurut Imam Maliki

Puasa dalam mazhab Maliki merupakan ibadah yang diwajibkan kepada setiap Muslim yang baligh dan berakal, tanpa ada halangan yang membolehkan mereka untuk tidak berpuasa (seperti sakit berat atau safar). Puasa Ramadan adalah puasa wajib utama, dan dalam mazhab Maliki ada pengaturan khusus mengenai niat, keabsahan, serta hal-hal yang membatalkan puasa.

1. Status Hukum Puasa Ramadan

Imam Malik menegaskan bahwa puasa Ramadan adalah wajib (fardhu ‘ain) atas setiap Muslim, dan kewajiban tersebut didasarkan pada Al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad SAW.

Dalil utama yang dipakai oleh mazhab Maliki adalah firman Allah SWT:

اَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ ۝١٨٣

”Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183)

Dan juga ayat:

اُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ اِلٰى نِسَاۤىِٕكُمْۗ

“Dihalalkan bagimu pada malam hari puasa untuk bercampur dengan istrimu...” (QS. Al-Baqarah: 187)

Selain itu, hadis-hadis dalam kitab Al-Muwatta itu sangat penting bagi mazhab Maliki dalam menetapkan hukum dan syarat puasa.

2. Niat Puasa Menurut Imam Maliki

Salah satu ciri khas dalam fiqih Maliki adalah ketentuan niat puasa yang berbeda dengan mazhab lain.

· Niat Puasa wajib dilakukan pada malam hari sebelum terbit fajar. Artinya, seseorang harus berniat puasa di malam harinya, dari setelah maghrib sampai dengan sebelum Subuh.

· Niat cukup dilakukan satu kali untuk seluruh bulan puasa Ramadan, asalkan puasa dilakukan secara berturut-turut tanpa terputus. Jadi, jika seseorang niat puasa Ramadan pada malam pertama dan melaksanakan puasa Ramadan secara terus-menerus tanpa ada gangguan (jika ada gangguan maka niat ulang diperlukan untuk sisa puasa), maka niat tersebut berlaku untuk seluruh bulan.

Jika puasa terputus karena hal-hal yang dibolehkan (misalnya sakit atau haid), maka untuk puasa yang tersisa wajib berniat ulang pada malam sebelum hari puasa berikutnya.

Hal ini berbeda dengan mazhab Syafi’i dan Hanbali yang mewajibkan niat setiap malam sebelum fajar.

Dalil Hadis yang Mendukung Niat Maliki

Dalam kitab AL-Muwatta, riwayat dari Hafshah ra istri Nabi, dinyatakan:

نَوِِىْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانَ هذِهِ السَّنَةِ لِلهِ تَعَالَى

"Niat puasa itu wajib semenjak malam sebelum subuh. Barangsiapa tidak berniat sejak malam sebelum terbit fajar, maka tidak ada puasa baginya." (HR. Baihaqi dan Daruquthni)

Hadis ini menegaskan bahwa niat harus dilakukan di malam hari sebelum fajar dan bukan saat siang hari.

3. Syarat dan Ketentuan Sah Puasa

Selain niat, mazhab Maliki menetapkan beberapa syarat agar puasa sah dan wajib dilaksanakan, antara lain:

· Beragama Islam

· Sudah baligh dan berakal

· Suci dari haid dan nifas bagi wanita

· Memiliki kemampuan untuk berpuasa, tidak sakit parah yang membolehkan berbuka

· Menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa selama waktu puasa (mulai terbit fajar sampai maghrib)

4. Hal-hal yang Membatalkan Puasa Menurut Mazhab Maliki

Mazhab Maliki sepakat dengan mazhab lain bahwa puasa batal apabila terjadi hal-hal berikut:

· Makan dan minum dengan sengaja selama waktu puasa

· Keluar air mani karena sengaja (melalui hubungan suami istri atau masturbasi)

· Haid dan nifas apabila datang saat berpuasa

· Muntah dengan sengaja

· Memasukkan sesuatu ke dalam tubuh melalui jalan terbuka sampai ke perut atau kepala

· Tindakan yang membatalkan puasa secara sengaja lainnya

Jika salah satu dari hal tersebut terjadi pada siang hari saat puasa wajib, maka puasa tersebut batal dan harus diganti (qadha) di lain hari.

5. Kewajiban Mengqadha dan Tidak Ada Kafarat untuk Puasa Ramadan yang Terputus

Mazhab Maliki mengharuskan mengganti (qadha) puasa yang tidak dilakukan karena alasan yang dibolehkan atau batal, misalnya haid, sakit, atau batal puasa.

Berbeda dengan puasa yang sengaja tidak dilakukan tanpa uzur, maka wajib membayar kafarat (denda) selain qadha.

Menariknya, dalam mazhab Maliki, apabila seseorang menunda qadha puasa Ramadan hingga tahun berikutnya tanpa alasan, maka ia harus membayar fidyah (makanan bagi fakir) setiap hari puasa tersebut tidak diganti sesuai aturan.[2]

 Hukum Puasa Menurut Imam Hanbali

Dalam mazhab Hanbali, puasa dipandang sebagai salah satu bentuk ibadah yang sangat utama dan termasuk rukun Islam yang lima. Imam Ahmad bin Hanbal, pendiri mazhab ini, menegaskan bahwa puasa Ramadan adalah kewajiban mutlak bagi setiap muslim yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu, seperti baligh, berakal, mampu secara fisik, dan tidak dalam keadaan yang menggugurkan kewajiban seperti haid atau nifas bagi perempuan.

Dalam kitab Al-Mughni karya Ibnu Qudamah, yang merupakan salah satu referensi terpenting dalam mazhab Hanbali, dijelaskan bahwa orang yang meninggalkan puasa Ramadan tanpa uzur syar’i dianggap telah melakukan dosa besar. Bahkan, dalam pandangan Hanbali, orang yang mengingkari kewajiban puasa Ramadan bisa jatuh kepada kekafiran jika pengingkarannya dilakukan dengan keyakinan bahwa puasa bukan bagian dari Islam, karena kewajiban puasa sudah sangat jelas dalam Al-Qur’an dan sunnah yang mutawatir.

Imam Ahmad juga sangat menekankan pentingnya niat dalam puasa. Ia berpendapat bahwa niat harus dilakukan setiap malam sebelum subuh untuk setiap hari puasa di bulan Ramadan. Hal ini berbeda dengan sebagian mazhab lain yang membolehkan satu niat untuk seluruh bulan, namun menurut Hanbali, niat harian lebih menjamin kehati-hatian dalam ibadah.

Dalam kasus puasa selain Ramadan, seperti puasa nazar atau kafarat, mazhab Hanbali tetap mewajibkan niat, tetapi memperbolehkan untuk dilakukan di malam sebelumnya atau bahkan sebelum tergelincirnya matahari, selama belum makan dan minum. Ini menunjukkan fleksibilitas tertentu dalam hukum puasa yang tidak wajib.

Mazhab Hanbali juga menaruh perhatian besar terhadap orang yang tidak mampu berpuasa karena sakit yang tidak mungkin sembuh. Dalam hal ini, ia dibolehkan untuk mengganti puasanya dengan membayar fidyah, yaitu memberi makan satu orang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkan. Namun, jika sakitnya bersifat sementara, maka wajib mengganti puasanya di hari-hari lain setelah Ramadan.

Puasa dalam mazhab Hanbali juga bukan sekadar menahan diri dari makan dan minum, tetapi juga dari segala hal yang membatalkan pahala puasa seperti berkata dusta, ghibah, atau mencaci maki. Dalam pandangan Imam Ahmad, puasa yang sah tetapi tidak disertai dengan pengendalian diri dari dosa-dosa ini tetap sah secara hukum, namun tidak memperoleh pahala yang sempurna.

Rujukan utama dalam memahami pandangan mazhab Hanbali ini dapat ditemukan dalam kitab Al-Mughni karya Ibnu Qudamah, Kasyf al-Qinā’ karya Al-Buhuti, dan Al-Insaf karya Al-Mardawi, yang semuanya merupakan referensi otoritatif dalam fiqh Hanbali. Selain itu, pendapat-pendapat Imam Ahmad sendiri banyak terekam dalam Masā’il Imam Ahmad yang dihimpun oleh para murid beliau.

Dengan demikian, pandangan mazhab Hanbali terhadap puasa sangat ketat dalam hal pelaksanaan, namun tetap memberikan jalan kemudahan bagi mereka yang memiliki uzur syar’i, sambil terus menekankan pentingnya keikhlasan dan kesungguhan dalam menjalani ibadah ini.

1. Status Hukum Puasa

Puasa Ramadan menurut Imam Hanbali adalah wajib (fardhu ‘ain) atas setiap Muslim yang memenuhi syarat wajib puasa: baligh, berakal, sehat, serta mampu menjalankan puasa tanpa uzur yang membolehkan berbuka. Kewajiban puasa ditegaskan dalam Al-Qur’an:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ ۝١٨٣

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183)

Mazhab Hanbali menegaskan bahwa puasa merupakan salah satu rukun Islam yang harus dilaksanakan dengan ketentuan tata cara yang jelas.

2. Syarat Sah Puasa

Untuk sahnya puasa menurut Imam Hanbali, berikut syarat-syarat yang harus dipenuhi:

· Beragama Islam: Puasa hanya diwajibkan untuk muslim.

· Baligh dan Berakal Sehat: Anak-anak dan orang yang gila dibebaskan dari kewajiban.

· Niat (Iradah): Niat puasa harus dilakukan setiap malam sebelum fajar, sebagai syarat sah puasa.

· Suci dari haid dan nifas: Wanita yang sedang haid atau nifas tidak wajib puasa saat itu.

· Mampu berpuasa: Tidak dalam keadaan sakit parah atau safar yang diperbolehkan berbuka.

· Menahan diri dari hal-hal membatalkan puasa: Sejak terbit fajar hingga maghrib selama bulan Ramadan.

3. Ketentuan Niat Puasa dalam Mazhab Hanbali

Niat merupakan bagian penting dan wajib yang harus dilakukan setiap malam sebelum terbit fajar (imsak). Tidak cukup berniat hanya sekali untuk seluruh bulan Ramadan. Seorang mukallaf harus mengulangi niat setiap malam puasa.

· Waktu niat: Dari waktu maghrib hingga sebelum masuk waktu shubuh.

· Niat dalam hati: Cukup dalam hati tanpa harus diucapkan lisan, namun adanya kesengajaan dan tekad untuk berpuasa di hari berikutnya adalah wajib.

· Tanpa niat, puasa dianggap batal: Puasa tidak sah jika tidak berniat meskipun menahan lapar dan haus.

4. Hal-hal yang Membatalkan Puasa

Mazhab Hanbali memiliki penjelasan rinci mengenai hal-hal yang membatalkan puasa. Secara umum, pembatal puasa adalah segala sesuatu yang dengan sengaja dilakukan dan memasukkan sesuatu ke dalam tubuh melalui rongga secara nyata, atau perbuatan lain yang membatalkan puasa. Berikut hal-hal tersebut:

· Makan dan minum dengan sengaja saat berpuasa.

· Muntah dengan sengaja, meskipun sedikit.

· Berhubungan suami istri di siang hari bulan Ramadan.

· Keluarnya mani dengan sengaja (baik melalui hubungan intim maupun masturbasi).

· Memasukkan sesuatu ke rongga tubuh (mulut, hidung, telinga, anus) yang sampai ke perut, kecuali jika tidak disengaja.

· Merokok atau menghirup zat yang memberi rasa dan nutrisi ke dalam tubuh seperti obat yang diminum via mulut.

· Penggunaan celak mata yang sampai ke tenggorokan atau perut.

· Melakukan perbuatan membatalkan dengan sadar dan sengaja, seperti ludah atau darah yang masuk ke perut.

Jika pembatalan puasa terjadi tanpa sengaja (lupa, ketidaksengajaan, atau dipaksa) maka puasa tetap sah dan tidak wajib menggantinya.

5. Lupa dan Terpaksa

Jika seseorang secara tidak sengaja makan, minum, atau melakukan hal lain yang dapat membatalkan puasa, puasa tetap sah dan tidak diwajibkan menggantinya berdasarkan hadis Nabi yang menyatakan bahwa Allah mengampuni apa yang dilakukan karena lupa.

6. Qadha (Mengganti Puasa) dan Kafarat (Denda Puasa)

· Jika puasa batal karena alasan yang dibolehkan (sakit, haid, nifas, safar) maka wajib mengganti puasa (qadha) pada hari lain setelah bulan Ramadan.

· Jika puasa batal karena sengaja makan, minum, atau melakukan hal membatalkan lainnya di siang hari Ramadan, maka wajib mengganti puasa dan membayar kafarat (denda puasa).

· Kafarat puasa terdiri dari:

· Memerdekakan budak, atau jika tidak mampu,

· Berpuasa dua bulan berturut-turut, atau jika tidak mampu,

· Memberi makan 60 orang miskin (atau memberi makan satu orang miskin dengan dua mud gandum setiap hari selama 60 hari).

· Jika seseorang menunda qadha tanpa alasan, Mazhab Hanbali menganjurkan segera mengganti, tapi fidyah (denda makanan) tidak wajib seperti dalam mazhab Maliki.[3]

 Hukum Puasa Menurut Imam Syafi’i

Dalam mazhab Imam Syafi’i, puasa dipandang sebagai bentuk ibadah yang memiliki kedudukan agung dalam syariat Islam. Puasa Ramadan adalah kewajiban fardhu ‘ain bagi setiap muslim yang telah memenuhi syarat-syaratnya, sebagaimana ditegaskan oleh Al-Qur’an dalam surah Al-Baqarah ayat 183. Imam Syafi’i menjelaskan bahwa kewajiban ini bersifat qat’i, yakni pasti dan tidak bisa diperdebatkan, dan termasuk dalam rukun Islam yang tidak boleh ditinggalkan kecuali karena alasan syar’i yang dibenarkan.

Dalam kitab Al-Umm, karya utama Imam Syafi’i sendiri, dijelaskan bahwa puasa harus dilakukan dengan niat yang sah, dan niat ini wajib dilakukan setiap malam sebelum fajar. Berbeda dengan sebagian mazhab yang membolehkan satu niat untuk sebulan penuh, Imam Syafi’i menegaskan bahwa setiap hari puasa membutuhkan niat tersendiri karena masing-masing hari merupakan ibadah yang berdiri sendiri. Niat ini cukup dalam hati, tidak disyaratkan untuk dilafalkan, meskipun pelafalan niat dianggap sunnah oleh sebagian ulama Syafi’iyyah.

Dalam pelaksanaannya, puasa menurut Imam Syafi’i tidak hanya menahan diri dari makan dan minum serta hal-hal yang membatalkan puasa sejak terbit fajar hingga terbenam matahari, tetapi juga mengandung aspek pengendalian diri dari perbuatan maksiat dan dosa. Meski perbuatan seperti berbohong atau gibah tidak membatalkan puasa secara hukum fiqih, tetapi ia bisa mengurangi pahala dan nilai spiritual dari puasa itu sendiri.

Imam Syafi’i juga membahas dengan rinci tentang siapa saja yang boleh tidak berpuasa. Dalam pandangannya, orang sakit, musafir, wanita haid dan nifas, serta orang tua renta yang tidak mampu lagi berpuasa diberi keringanan untuk tidak menjalankan puasa Ramadan. Bagi mereka yang sakit atau bepergian, wajib mengganti puasa di hari lain ketika mampu. Sedangkan orang tua yang tak mampu dan penderita penyakit kronis diberikan pilihan untuk membayar fidyah, yaitu memberi makan orang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkan.

Dalam kitab-kitab fiqih Syafi’i seperti Al-Majmu’ karya Imam Nawawi dan Mughni al-Muhtaj karya Al-Khatib Asy-Syarbini, hukum-hukum puasa dijelaskan lebih terperinci. Misalnya soal hal-hal yang membatalkan puasa, seperti makan dan minum dengan sengaja, muntah secara sengaja, berhubungan suami istri di siang hari Ramadan, serta masuknya sesuatu ke dalam rongga tubuh melalui lubang alami dengan kesadaran dan kehendak. Semua itu dibahas secara sistematis dan argumentatif, menunjukkan betapa seriusnya mazhab ini dalam menjaga kesucian ibadah puasa.

Pandangan Imam Syafi’i terhadap puasa bukan semata persoalan hukum formal, tetapi juga mengandung kedalaman spiritual. Dalam penjelasannya, beliau seringkali mengaitkan puasa dengan ketakwaan, karena sejatinya puasa bukan sekadar menahan lapar dan haus, melainkan sarana pendidikan jiwa. Ia merupakan latihan untuk menundukkan hawa nafsu, memperhalus empati terhadap kaum miskin, serta bentuk ketaatan total kepada perintah Allah.

Dengan demikian, puasa menurut Imam Syafi’i adalah ibadah yang menyatu antara hukum dan hikmah. Ia bukan hanya kewajiban ritual, melainkan jalan menuju kesucian jiwa dan kepekaan sosial. Melalui teks-teks fiqih klasik dan panduan para ulama Syafi’iyyah, tampak jelas bahwa mazhab ini tidak hanya menjaga hukum puasa dalam kerangka lahiriah, tetapi juga menghidupkannya sebagai praktik keimanan yang penuh kesadaran.

1. Status Hukum Puasa Menurut Imam Syafi'i

Puasa, terutama puasa Ramadan, adalah wajib (fardhu ‘ain) atas setiap Muslim yang telah memenuhi syarat seperti baligh, berakal, dan mampu melaksanakannya. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT:

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183)

Puasa ini merupakan salah satu rukun Islam yang fundamental dan tidak boleh ditinggalkan kecuali karena hal yang dibenarkan oleh syariat.

2. Syarat Wajib Puasa

Syarat supaya puasa wajib atas seseorang menurut mazhab Syafi'i adalah sebagai berikut:

· Islam: Hanya diwajibkan bagi Muslim.

· Baligh: Sudah mencapai usia kedewasaan.

· Berakal sehat: Tidak dalam kondisi gila atau hilang kesadaran.

· Mampu menjalankan puasa: Tidak sakit parah, tidak dalam perjalanan jauh (safar).

· Suci dari haid dan nifas (untuk wanita) selama waktu puasa.

3. Rukun Puasa Menurut Mazhab Syafi'i

Mazhab Syafi'i menetapkan tiga rukun utama puasa agar puasa itu sah dan diterima:

· Niat (al-Iradah): Niat adalah rukun yang harus ada, tidak cukup sekadar syarat sah. Niat harus dilakukan setiap malam sebelum fajar untuk puasa wajib Ramadan. Niat hanya dalam hati sudah cukup, meskipun mengucapkannya dengan lisan adalah sunnah. Tanpa niat, puasa tidak sah.

· Menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa: Makan, minum, hubungan suami istri, muntah dengan sengaja, dan sebagainya selama waktu puasa (dari terbit fajar sampai terbenam matahari).

· Orang yang berpuasa: Hanya orang yang memenuhi syarat wajib puasa yang harus berpuasa.

4. Ketentuan Niat Puasa

Dalam mazhab Syafi'i, niat puasa adalah wajib dilakukan setiap malam sebelum fajar untuk setiap hari puasa wajib (seperti puasa Ramadan). Niat yang dilakukan sekali untuk seluruh bulan tidak sah menurut Syafi'i, sehingga niat harus diperbaharui setiap malam. Dalilnya adalah hadis:

مَنْ لَمْ يُبَيِّتِ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلَا صِيَامَ لَهُ

"Barang siapa yang tidak berniat sejak malam sebelum terbit fajar maka tidak ada puasa baginya." (HR. An-Nasa’i, Ibnu Majah)

Waktu niat dimulai dari maghrib sampai sebelum terbit fajar pada hari puasa.

5. Hal-hal yang Membatalkan Puasa Menurut Imam Syafi'i

Puasa menurut mazhab Syafi'i batal karena hal-hal berikut yang dilakukan dengan sengaja dan sadar:

· Makan dan minum dengan sengaja.

· Berhubungan suami istri di siang hari puasa.

· Keluarnya mani karena sengaja.

· Muntah dengan sengaja.

· Memasukkan sesuatu ke dalam rongga tubuh (mulut, hidung, telinga, anus) hingga sampai ke perut atau kepala.

· Jika salah satu dilakukan dengan sadar saat waktu puasa, maka puasa batal dan wajib diganti (qadha).

Namun, jika hal-hal tersebut terjadi karena lupa, tidak sadar, dipaksa, atau tidak mengetahui keharamannya (seperti orang baru masuk Islam atau jahil), maka puasanya tetap sah.

6. Puasa untuk Orang Sakit, Hamil, dan Menyusui

Perempuan hamil dan menyusui yang khawatir akan kesehatan dirinya atau anaknya boleh berbuka selama puasa Ramadan, dengan kewajiban untuk mengganti (qadha) pada waktu lain setelah bulan Ramadan berakhir, asalkan kondisi memungkinkan.

Begitu pula bagi orang sakit yang tidak kuat berpuasa boleh berbuka dengan pengganti di hari lain.

7. Makruh dalam Puasa Menurut Syafi'i

Mazhab Syafi'i juga mengatur hal-hal yang makruh selama puasa, seperti melakukan perbuatan yang bisa melemahkan puasa tanpa membatalkannya, misalnya:

· Berciuman hingga menimbulkan syahwat,

· Mengunyah makanan atau permen,

· Mengunyah sesuatu yang tidak ditelan,

Namun hal-hal tersebut tidak membatalkan puasa jika tidak sampai dimakan atau diminum.[4]

 Puasa Makruh dan Haram

Puasa merupakan ibadah yang memiliki banyak dimensi dalam Islam, dan setiap mazhab memiliki pendekatan tersendiri dalam memahami tidak hanya apa yang diwajibkan atau disunnahkan, tetapi juga apa yang dimakruhkan bahkan diharamkan. Imam-imam mazhab yang empat—Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali—memiliki pemahaman yang sangat cermat terhadap kondisi dan waktu tertentu yang menjadikan suatu puasa tidak dianjurkan, atau bahkan dilarang keras untuk dilakukan.

Dalam mazhab Hanafi, puasa makruh dipahami sebagai puasa yang meskipun secara hukum tidak membatalkan ibadah, namun pelaksanaannya tidak disukai dan bisa mengurangi nilai pahala. Misalnya, puasa pada hari Jumat secara tunggal—tanpa berpuasa pada hari Kamis atau Sabtu bersamanya—dipandang makruh karena menyerupai ritual khusus yang tidak dianjurkan oleh Nabi. Puasa pada hari Sabtu secara khusus tanpa alasan juga dianggap makruh, karena ada riwayat dari Rasulullah yang melarang umatnya untuk menjadikan hari Sabtu sebagai hari puasa kecuali dalam rangka puasa wajib. Sementara itu, puasa yang diharamkan secara mutlak dalam mazhab Hanafi mencakup puasa pada dua hari raya: Idul Fitri dan Idul Adha. Imam Abu Hanifah menyatakan dengan tegas bahwa berpuasa pada dua hari tersebut adalah bentuk pelanggaran terhadap sunnah Rasul, karena kedua hari raya itu ditetapkan sebagai hari makan, minum, dan syukur. Juga termasuk puasa pada hari-hari tasyrik (11, 12, dan 13 Dzulhijjah), kecuali bagi jamaah haji yang tidak menemukan hadyu (hewan kurban), sebagaimana dijelaskan dalam Al-Hidayah dan Fath al-Qadir.

Sementara itu, dalam mazhab Maliki, puasa makruh dikenal dalam bentuk yang lebih luas, namun tidak sampai dihukumi haram kecuali terdapat nash yang jelas. Imam Malik, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Mudawwanah, menyebutkan bahwa berpuasa secara berlebihan tanpa tujuan syar’i bisa dimakruhkan, terutama jika mengganggu rutinitas ibadah lain atau melemahkan tubuh secara tidak wajar. Contohnya adalah berpuasa terus-menerus sepanjang tahun tanpa jeda, walaupun secara teknis mungkin dilakukan. Sedangkan untuk puasa yang haram, pandangan mazhab Maliki senada dengan mazhab lainnya, bahwa berpuasa pada hari raya dan hari-hari tasyrik adalah hal yang dilarang dan tidak sah. Maliki juga menambahkan larangan puasa bagi perempuan tanpa izin suaminya, jika sang suami sedang di rumah dan keberadaannya dibutuhkan, karena hal ini dapat melanggar hak suami sebagaimana dijelaskan dalam At-Taj wa al-Iklil.

Mazhab Syafi’i juga memandang dengan serius puasa pada waktu-waktu yang dilarang. Dalam Al-Majmu’ karya Imam Nawawi, dijelaskan bahwa berpuasa pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha adalah haram secara ijma’. Larangan ini bersifat mutlak dan tidak dapat ditawar dengan niat apa pun, karena hari-hari tersebut secara syariat ditetapkan sebagai waktu perayaan dan makan bersama. Hari-hari tasyrik juga termasuk dalam larangan ini, kecuali bagi orang yang berhaji dan tidak mendapatkan hewan kurban. Adapun puasa yang makruh menurut Imam Syafi’i adalah puasa wishal—yaitu puasa yang tidak berbuka di malam hari dan disambung hingga keesokan harinya—karena Rasulullah melarang umatnya menirukan puasa beliau yang demikian, kecuali bagi mereka yang mendapatkan kekuatan spiritual khusus. Di samping itu, puasa pada hari Jumat secara tunggal juga dipandang makruh tanpa sebab yang dibenarkan, agar tidak menyerupai pengkhususan ibadah yang tidak pernah diperintahkan.

Sementara dalam mazhab Hanbali, ketegasan terhadap waktu-waktu yang dilarang untuk puasa juga sangat jelas. Dalam Al-Mughni karya Ibnu Qudamah, puasa pada dua hari raya dan hari-hari tasyrik dihukumi haram, kecuali dalam pengecualian haji sebagaimana yang disebutkan sebelumnya. Mazhab Hanbali juga memakruhkan puasa pada hari syak, yaitu tanggal 30 Sya’ban ketika belum jelas apakah telah masuk Ramadan atau belum, kecuali jika seseorang memiliki kebiasaan rutin berpuasa pada hari tersebut seperti puasa Senin-Kamis atau puasa Daud. Hal ini untuk mencegah kehati-hatian yang berlebihan yang justru menjerumuskan pada bentuk ibadah yang tidak berpijak pada kejelasan hukum.

Dengan demikian, keempat mazhab besar dalam Islam sepakat bahwa terdapat waktu-waktu tertentu di mana puasa tidak dianjurkan, bahkan diharamkan. Larangan tersebut bukanlah bentuk pembatasan terhadap ibadah, melainkan wujud dari ketaatan terhadap tatanan syariat yang memperhatikan hikmah, keseimbangan, dan ketepatan waktu. Puasa bukan hanya soal menahan lapar dan haus, tetapi juga soal menempatkan ibadah sesuai pada tempat dan waktunya. Kesepakatan para ulama terhadap keharaman puasa di hari raya, serta perbedaan mereka dalam beberapa rincian puasa makruh, menunjukkan keluasan fiqih Islam dan kebijaksanaan dalam memahami ibadah secara utuh dan proporsional.[5]

Manfaat Puasa menurut 4 Imam Mazhab

Manfaat puasa menurut pandangan empat mazhab Imam besar (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali) secara umum sejalan dalam menegaskan nilai ibadah puasa yang tidak hanya terkait aspek hukum dan ritual, tetapi juga berdampak pada manfaat spiritual, sosial, dan kesehatan. Berikut uraian manfaat puasa menurut keempat mazhab tersebut yang dapat dirangkum dari kajian-kajian dan hadits yang menjadi dasar ilmu fiqih:

Manfaat Puasa Menurut Imam Hanafi

1.Meningkatkan ketakwaan: Puasa sebagai ibadah yang diwajibkan bertujuan utama meningkatkan ketakwaan seseorang kepada Allah SWT sesuai QS. Al-Baqarah: 183

2.Melatih pengendalian diri dan menahan hawa nafsu: Puasa membantu individu untuk menahan diri dari nafsu makan, minum, dan syahwat sehingga membentuk karakter pengendalian diri yang baik.

3.Manfaat sosial: Puasa membantu meningkatkan rasa empati terhadap orang miskin dan yang lapar sehingga memperkuat solidaritas sosial.

4.Manfaat kesehatan: Puasa dianggap memberi efek detoksifikasi tubuh dan kesehatan fisik secara keseluruhan karena menurunkan asupan makanan dan memberikan waktu istirahat bagi sistem pencernaan.

Manfaat Puasa Menurut Imam Maliki                                                                                      

Menurut kajian tentang fiqih Maliki dan beberapa hadis terkait:

1.Meningkatkan spiritualitas dan ketakwaan: Puasa menjadikan seseorang lebih taat dan sadar akan kewajibannya kepada Allah.

2.Mendapatkan pahala besar dan rahmat Allah: Puasa adalah ibadah yang sangat dihargai, dan Rasulullah memberikan jaminan pahala berlipat ganda.

3.Pembersihan dosa: Puasa dengan keimanan dan harapan ridha Allah dapat menghapus dosa-dosa masa lalu dan mendatang.

4.Manfaat kesehatan: Puasa memberi kesempatan bagi tubuh untuk beristirahat dan mengurangi berbagai penyakit yang timbul akibat makan berlebihan.

5.Ketenangan jiwa dan melindungi dari godaan setan: Puasa berfungsi sebagai perisai dan benteng menjaga pelakunya dari godaan setan dan dari perilaku tercela.

Manfaat Puasa Menurut Imam Syafi’I

1.Meningkatkan ketaqwaan: Tujuan utama puasa adalah agar seseorang menjadi lebih bertakwa, salah satunya melalui menahan lapar dan dahaga.

2.Mengajarkan kesyukuran: Dengan berpuasa, seseorang menjadi lebih menghargai dan bersyukur atas nikmat makanan dan minuman yang biasa dinikmati.

3.Menjaga kesehatan fisik dan mental: Puasa memberi kesempatan tubuh beristirahat dari proses pencernaan dan membantu detoksifikasi.

4.Melatih kesabaran dan pengendalian diri: Puasa adalah sarana untuk memperkuat karakter dan menahan diri dari hawa nafsu.

5.Mendekatkan diri kepada Allah dan meningkatkan amalan spiritual: Puasa membantu meningkatkan ibadah dan doa yang lebih fokus dan khusyuk.

Manfaat Puasa Menurut Imam Hanbali

1.Meningkatkan ketakwaan dan kedekatan dengan Allah: Puasa merupakan bukti penyerahan diri dan ketaatan yang tinggi kepada Allah SWT.

2.Menjadi perisai yang melindungi dari api neraka: Puasa berfungsi sebagai benteng diri dari godaan setan dan dosa.

3.Menghapus dosa dan meningkatkan pahala: Puasa di bulan Ramadan dan puasa sunnah lainnya mendapatkan pahala yang berlipat dan dapat menghapus dosa.

4.Manfaat kesehatan: Puasa memberi waktu istirahat bagi sistem pencernaan dan membantu menjaga kesehatan tubuh secara menyeluruh

5.Manfaat sosial: Puasa melatih rasa empati, meningkatkan solidaritas sosial, dan memperkuat ukhuwah (persaudaraan) di antara Muslim.[6]

KESIMPULAN

Kesimpulan esensi puasa dalam kajian fiqih empat mazhab utama (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali) tentang hukum, jenis, dan manfaatnya adalah sebagai berikut:

Puasa merupakan ibadah yang memiliki kedudukan istimewa dalam Islam dan diwajibkan menurut keempat mazhab utama sebagai fardhu ‘ain bagi setiap Muslim yang memenuhi syarat. Hukum puasa Ramadan adalah wajib, dengan perbedaan teknis terutama terkait waktu niat dan uraian hal-hal yang membatalkan puasa. Misalnya, mazhab Hanafi memperbolehkan niat puasa dilakukan sampai tengah hari, sementara Maliki menegaskan niat pada malam hari dan cukup satu niat untuk sebulan, sedangkan Syafi’i dan Hanbali mewajibkan niat setiap malam sebelum fajar. Jenis-jenis puasa dalam keempat mazhab mencakup:

· Puasa wajib (Ramadan, qadha, kafarat)

· Puasa sunnah (Senin-Kamis, Arafah, Asyura, Daud, dan lainnya)

· Puasa makruh (puasa hari tertentu yang tidak dianjurkan)

· Puasa haram (puasa haram seperti pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha)

Manfaat puasa yang ditegaskan oleh empat mazhab melampaui sekadar menahan lapar dan haus. Puasa berfungsi sebagai sarana utama untuk meningkatkan ketakwaan, melatih pengendalian diri, menyucikan jiwa, serta mendekatkan diri kepada Allah SWT. Selain itu, puasa memiliki manfaat sosial berupa peningkatan empati terhadap yang kurang mampu, memperkuat solidaritas sosial, dan manfaat kesehatan seperti detoksifikasi tubuh dan pengaturan metabolisme. Secara keseluruhan, puasa dalam perspektif fiqih empat mazhab adalah kewajiban spiritual yang dilaksanakan dengan penuh kesadaran, niat yang benar, dan pemahaman tentang tata cara serta hikmah di baliknya. Puasa menjadi sarana pembentukan karakter, keimanan, dan ketaqwaan yang menyeluruh baik secara lahiriah maupun batiniah. Pemahaman mendalam tentang esensi puasa ini membantu umat Islam melakukan ibadah puasa dengan benar, bukan sekadar rutinitas fisik, melainkan sebagai pengalaman spiritual yang memperkuat hubungan dengan Allah dan memperkokoh nilai kemanusiaan di masyarakat.

Puasa merupakan ibadah mulia yang tidak hanya memenuhi ketentuan syariat, tetapi juga mengandung makna spiritual, sosial, dan kesehatan yang mendalam. Melalui kajian fiqih empat mazhab besar—Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali—terlihat betapa puasa ditetapkan sebagai kewajiban yang harus dilaksanakan dengan niat yang benar, penuh kesadaran, serta pemahaman atas tata cara dan hikmah puasa. Masing-masing mazhab memberikan penjelasan rinci mengenai hukum, jenis, dan tata pelaksanaan puasa, yang meskipun terdapat perbedaan teknis, tetap bersandar pada dalil Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW. Manfaat puasa, baik dari sisi spiritual, sosial, maupun kesehatan, diyakini mampu membentuk pribadi Muslim yang bertakwa, disiplin, dan peduli sesama. Oleh karena itu, memahami esensi dan rincian hukum puasa dari perspektif keempat mazhab dapat memperkaya wawasan umat Islam dalam melaksanakan ibadah puasa secara benar dan maksimal. Semoga pengetahuan ini menjadi bekal bagi setiap Muslim dalam menjalankan puasa dengan penuh keikhlasan dan mendapatkan keberkahan dari Allah SWT. Akhirnya, semoga kajian ini bermanfaat sebagai panduan dan motivasi agar puasa tidak hanya menjadi ritual, melainkan sarana utama dalam pembentukan karakter dan peningkatan kualitas iman serta amal kebajikan.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’anul Karim Surat Al-Baqarah ayat 183-185.

Ibnu Abidin, Muhammad Amin, Hasyiyah Raddul Muhtar ‘ala Durril Mukhtar.

Muhammad Jawad Mughniyah, Fikih Lima Mazhab, Terbitan Dar al-Jawad, Beirut

Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu

Imam Malik, Al-Muwatta’

Muhammad bin Yusuf al-Ghurnathi, Al-Taj wa Al-Iklil fi Sharh Mukhtasar Khalil

Muhammad Al-’Arabi Al-Qarawi, Al-Khulasatul Fiqhiyah ‘ala Mazhabis Sadah Al-Malikiyah.

Khalil ibn Ishaq al-Jundi, Mukhtasar Khalil..

Ibnu Qudamah al-Maqdisi, Al-Mughni, Al-Kashri, Al-Sharh al-Kabir.

Imam Ahmad bin al-Husain al-Syafi’I, Ghayah at-Taqrib.

Wahbah Az-Zuhaili, Fiqhul Islam wa Adillatuhu

Hadis dan Riwayat Shahih, Seperti hadis dari Al-Muwatta’, riwayat Hafshah r.a., hadis Baihaqi, Daruquthni, An-Nasa’i.

[1] syiyah Raddul Muhtar ‘ala Durril Mukhtar oleh Imam Ibnu Abidin

Fikih Lima Mazhab oleh Muhammad Jawad Mughniyah

[2] Al-Muwatta’ karya Imam Malik

Al-Taj wa Al-Iklil fi Sharh Mukhtasar Khalil oleh Muhammad bin Yusuf al-Ghurnathi

Al-Khulasatul Fiqhiyah ‘ala Mazhabis Sadah Al-Malikiyah oleh Muhammad Al-’Arabi Al-Qarawi

[3] Al-Mughni oleh Ibnu Qudamah al-Maqdisi

l-Kharshi (Al-Sharh al-Kabir) oleh Al-Kharshi

Al-Insaf fi Masa’il al-I’tiqad wal-Fiqh oleh Imam Ibn Qudamah

[4] Fiqhul Islam wa Adillatuhu oleh Wahbah Az-Zuhaili: Buku fiqih kontemporer yang memberi pembahasan komprehensif tentang hukum puasa mazhab Syafi'i.

Risalah fi Ahkamil Shaum, Kitab Fiqih Puasa Menurut Al-Imam Asy-Syafi'i RA, dan Kitab Puasa Madzhab Syafi'i

[5] Muhammad Jawad Mughniyah, Fikih Lima Mazhab, Terbitan Dar al-Jawad, Beirut

Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu

Imam Malik, Al-Muwatta’

[6] Muhammad Al-’Arabi Al-Qarawi, Al-Khulasatul Fiqhiyah ‘ala Mazhabis Sadah Al-Malikiyah.

Khalil ibn Ishaq al-Jundi, Mukhtasar Khalil..

Ibnu Qudamah al-Maqdisi, Al-Mughni, Al-Kashri, Al-Sharh al-Kabir.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Read Entire Article
Berita Republika | International | Finance | Health | Koran republica |