 Foto ilustrasi Catatan Cak AT: Dua Unsur Tua, Dua Harapan Baru. (Foto: Dok RUZKA INDONESIA)
Foto ilustrasi Catatan Cak AT: Dua Unsur Tua, Dua Harapan Baru. (Foto: Dok RUZKA INDONESIA) RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Ada dua hal yang sejak awal penciptaan tidak pernah berhenti bekerja tanpa pamrih: air dan tanah. Dua unsur tua yang mungkin sudah bosan melihat manusia yang lebih pandai berdebat tentang cuaca ketimbang menanam pohon.
Dua elemen yang sejak firman pertama ditiupkan sudah jadi saksi kehidupan: “Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup” (QS Al-Anbiya’: 30). Air adalah asal mula hidup, tanah adalah pangkuannya. Tanpa keduanya, bahkan janji Allah pun sulit menumbuhkan benih.
Namun lihatlah dunia hari ini: air asin yang menggunung di laut, tanah retak yang mengeluh di ladang. Laut melimpah, tapi manusia kehausan. Ladang luas, tapi bumi lapar.
Lalu datanglah teknologi baru yang mencoba mengingatkan: bahwa menyembuhkan bumi bukanlah pekerjaan Ilahi semata. Tapi, itu juga tugas manusia yang diberi akal untuk meneliti.
Baca juga: Kehadiran JETOUR T1 i-DM Pimpin Tren "Smart Hybrid" di Filipina
Laporan _Top 10 Emerging Technologies 2025_ dari kolaborasi World Economic Forum dan Frontiers menggarisbawahi dua di antaranya: regenerative desalination— penyulingan air laut yang tidak merusak ekosistem — dan soil health tech, teknologi pemulihan tanah.
Keduanya tampak seperti proyek ilmiah di laboratorium, tapi sesungguhnya adalah doa yang sedang berubah wujud menjadi mesin.
Mari kita mulai dari air. Kalau dulu penyulingan air laut dikenal boros energi dan menghasilkan limbah garam yang mencemari, kini para ilmuwan menciptakan teknologi desalinasi regeneratif. Air laut diubah jadi air tawar menggunakan energi surya, dengan sisa garam yang bisa dimanfaatkan kembali untuk industri atau pertanian.
Hasilnya, bukan hanya air yang lahir kembali, tapi juga ekosistem pesisir yang ikut sembuh. Negara seperti Arab Saudi, Israel, dan Singapura telah menguji teknologi ini, mengubah gurun menjadi taman, dan laut menjadi sumur yang tak habis-habis.
Baca juga: Andris Masengi Jabat Country Leader OutSystems untuk Indonesia
Bayangkan jika Indonesia, negeri dengan 81.000 kilometer garis pantai, mengadopsi teknologi ini dengan pendekatan lokal — memadukannya dengan energi angin di Nusa Tenggara, atau arus laut di Selat Sunda. Maka air tak lagi menjadi alasan gagal panen atau krisis. Ia bisa kembali menjadi rahmat, bukan musibah.
Lalu tanah — unsur paling sabar sekaligus paling disalahgunakan. Tanah dulu adalah ibu, kini jadi korban. Setiap tahun jutaan hektare lahan subur kehilangan mikroorganisme hidupnya karena pupuk kimia dan pestisida.
Padahal di dalam segenggam tanah sehat, ada miliaran makhluk kecil yang bekerja tanpa gaji: bakteri, cacing, jamur, semua mengubah sisa hidup menjadi kehidupan baru. Maka muncul gerakan soil health technology— perpaduan bioteknologi, sensor, dan kecerdasan buatan untuk menghidupkan kembali kesuburan alami.
Teknologi ini tidak sekadar memberi pupuk, tapi “mendengarkan” tanah: mendeteksi kadar karbon, kelembapan, dan mikroba di bawah permukaan, lalu memberi rekomendasi presisi tentang apa yang dibutuhkan agar tanah kembali “bernapas”.
Baca juga: UMKM Binaan PLN UID Jakarta Raya Goes to Korsel, Pasarkan Produk Kreatif Nusantara
Di Kenya dan India, petani kecil mulai memakai alat ini dengan biaya murah, hasil panen naik, dan kualitas tanah membaik. Ini bukan keajaiban, hanya sains yang belajar dari alam.
Kalau kita mau jujur, manusia dan tanah itu sebetulnya punya hubungan spiritual yang dalam. Dari tanah kita diciptakan, ke tanah kita kembali. Dan Tuhan menyebut proses itu bukan sekadar siklus biologis, tapi tanda kebangkitan.
Firman Allah: “Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan yang mati dari yang hidup, dan menghidupkan bumi setelah matinya” (QS Ar-Rum: 19). Artinya, teknologi yang menghidupkan tanah bukan cuma urusan pertanian — itu bentuk tafsir baru atas ayat kehidupan.
Bayangkan jika pesan ini dipahami secara ekosistem: air yang diregenerasi memberi kehidupan bagi tanah, tanah yang sehat menumbuhkan pohon, pohon menahan air, dan bumi kembali berputar dalam harmoni.
Itulah bentuk circular ecology, bukan hanya circular economy. Kita tidak sekadar menutup siklus bahan, tapi menyambung lagi hubungan antara makhluk dan Pencipta.
Baca juga: Mimpi Warga Poso: Dua Tahun Hidup Tanpa Listrik, Ni Wayan Kini Menikmati Cahaya
Mungkin karena itu pula, al-Qur'an Surah As-Sajdah (7–9) menyebut penciptaan manusia dari tanah bukan sekadar asal-usul biologis, tapi panggilan spiritual: bahwa dalam diri manusia ada unsur bumi yang harus dijaga. Maka menyelamatkan tanah dan air sesungguhnya adalah cara manusia menyelamatkan dirinya sendiri.
Kini pertanyaannya: apakah kita siap belajar dari dua guru tertua di bumi ini — air dan tanah? Air yang selalu turun ke bawah tapi tak pernah rendah, tanah yang diinjak tapi tetap menumbuhkan. Dalam era kecerdasan buatan, justru keduanya memberi pelajaran tentang kecerdasan alami.
Sains boleh datang dari laboratorium, tapi kebijaksanaan lahir dari bumi. Teknologi bisa mengolah air dan tanah, tapi hanya manusia yang bisa memaknainya. Karena pada akhirnya, regenerasi bukan sekadar proses fisik — ia adalah kesadaran bahwa bumi bukan warisan, melainkan amanah. (***)
Penulis: Cak AT – Ahmadie Thaha/Ma’had Tadabbur al-Qur’an, 31/10/2025

 6 hours ago
                                6
                        6 hours ago
                                6
                    











































