
Oleh: Nana Sudiana (Direktur Akademizi, LAZNAS IZI )
BISNISTIME.COM, JAKARTA -- Selama ini, banyak orang memandang zakat hanya sebagai kewajiban ritual tahunan yang ditunaikan pada momen tertentu, seperti Ramadan atau menjelang Idul Fitri.
Bagi sebagian besar umat, zakat identik dengan pembagian santunan atau paket bantuan yang habis dalam hitungan hari. Pandangan ini memang tidak sepenuhnya keliru, namun cenderung membatasi makna zakat hanya pada fungsi konsumtif jangka pendek.
Padahal, potensi zakat jauh lebih besar daripada sekadar membantu orang bertahan hidup. Zakat dapat menjadi instrumen yang mampu mengangkat seseorang dari jurang kemiskinan menuju kemandirian, bahkan menjadikannya bagian dari golongan yang memberi, bukan lagi menerima.
Di tengah tantangan ekonomi yang terus berubah, zakat seharusnya ditempatkan sebagai salah satu pilar kesejahteraan berkelanjutan. Zakat tidak berhenti pada pemenuhan kebutuhan sesaat, tetapi menjadi modal untuk menggerakkan usaha produktif bagi mereka yang membutuhkan.
Dalam banyak kasus, dana zakat yang digunakan sebagai modal usaha mampu mengubah mustahik menjadi pelaku ekonomi mandiri.
Namun, keberhasilan ini tidak bisa terjadi begitu saja. Memberikan modal tanpa pendampingan ibarat mengirim seseorang ke medan perang tanpa persenjataan yang memadai.
Pendampingan menjadi faktor krusial dalam proses pemberdayaan berbasis zakat—mulai dari teknis usaha, pembinaan mental, manajemen keuangan, hingga penguatan spiritual. Mustahik perlu diajarkan bagaimana mengatur arus kas, memisahkan modal dari keuntungan, serta menyusun rencana usaha yang realistis.
Penguatan spiritual seperti membiasakan doa, shalat dhuha, dan menjaga kejujuran dalam berbisnis juga menjadi bekal penting untuk menjaga keberkahan usaha.
Salah satu contoh nyata dapat dilihat di sebuah desa di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Di desa ini, semangat gotong royong melalui zakat dan infak berhasil membantu masyarakat mengatasi persoalan ekonomi.
Dana yang terkumpul dikelompokkan sesuai ketentuan syariah, lalu dialokasikan untuk program-program yang menyentuh langsung kebutuhan warga, mulai dari bantuan usaha produktif hingga biaya pendidikan.
Model ini bukan hanya menyalurkan bantuan, tetapi juga memperkuat solidaritas sosial dan menciptakan rasa memiliki di tengah masyarakat.
Keberhasilan program zakat produktif terletak pada kemampuannya menciptakan lingkaran kebajikan. Mustahik yang sukses akan naik kelas menjadi muzaki, lalu zakat yang ia tunaikan akan memberdayakan mustahik lain.
Jika setiap tahun ada sebagian kecil mustahik yang berhasil menjadi muzaki, maka dalam jangka satu dekade jumlah muzaki akan meningkat signifikan, kapasitas zakat nasional akan bertambah, dan angka kemiskinan berpotensi menurun drastis.
Visi besar ini membutuhkan peran strategis lembaga zakat. Mereka tidak boleh hanya menjadi penyalur bantuan konsumtif, tetapi harus bertransformasi menjadi motor inovasi pemberdayaan yang disesuaikan dengan potensi lokal.
Di daerah pesisir, fokus bisa pada perikanan; di daerah pertanian, pada pengolahan hasil tani; di kawasan wisata, pada kerajinan dan jasa. Pemerintah pun berperan penting dalam menyediakan data kemiskinan yang akurat, memberi insentif bagi muzaki, dan merancang regulasi yang memudahkan kolaborasi lintas sektor.
Di era digital, peluang pemberdayaan semakin luas. Pelatihan keterampilan dapat dilakukan secara daring, pemasaran produk memanfaatkan e-commerce, dan pendampingan usaha bisa dipantau real-time melalui aplikasi.
Mustahik di desa terpencil kini dapat menjual produknya ke kota besar bahkan ke luar negeri dengan teknologi yang tepat.
Namun, semua konsep ini akan sia-sia jika hanya berhenti sebagai wacana. Tantangan terbesar adalah menjembatani ide dan implementasi.
Mengelola zakat sebagai instrumen pemberdayaan memerlukan kesabaran, konsistensi, dan keberanian meninggalkan pola lama yang hanya mengandalkan model charity.
Zakat adalah amanah sekaligus energi sosial. Ia tidak hanya menutup luka sesaat, tetapi membangun daya tahan jangka panjang.
Dengan visi terencana, pendampingan menyeluruh, dan kolaborasi solid, zakat dapat mengubah wajah kemiskinan di negeri ini—mengangkat status seseorang dari mustahik menjadi muzaki, dari penerima menjadi pemberi, dari terbantu menjadi penolong. [ ]
Dok foto: LAZNAS PYI