Saran Sapuhi Agar Pembagian Kuota Tambahan Haji tak Menjadi Persoalan Hukum

17 hours ago 5

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sarikat Penyelenggara Umroh dan Haji Indonesia (Sapuhi) angkat bicara mengenai kuota haji tambahan. Diperlukan payung hukum dalam bentuk undang-undang soal pembagian kuota haji tambahan.

Untuk diketahui, kuota haji tambahan adalah penambahan kuota jamaah pada tahun haji berjalan. Misal, setiap tahunnya biasanya mendapat kuota haji sebanyak 221 ribu yang dibagi menjadi 203,320 (92 persen) untuk jamaah haji reguler dan 17.680 (8 persen) untuk jamaah haji khusus.

Pada 2024 lalu, Indonesia mendapat tambahan kuota sebanyak 20 ribu dari Arab Saudi. Sehingga, pada musim haji 2024 Indonesia secara total mendapat kuota sebanyak 241 ribu jamaah. 

Nah, 20 ribu kuota tambahan itu dibagi oleh Kemenag berdasarkan KMA (Keputusan Menteri Agama) No 130 Tahun 2024 sebesar 50 persen untuk jamaah haji reguler dan 50 persen untuk jamaah haji khusus. Hal inilah kemudian yang dipersoalkan oleh sejumlah pihak karena terindikasi melanggar hukum. Pihak yang mempersoalkan salah satunya adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). 

Karena, jika merujuk pada undang-undang pembagian kuota itu seharusnya 92 persen untuk jamaah haji reguler dan 8 persen untuk jamaah haji khusus. Tapi di sisi lain, di undang-undang perhajian Indonesia pembagian kuota haji tambahan tak diatur dalam undang-undang. 

Menanggapi soal ini, Ketua Umum Sapuhi Syam Resfiadi berpendapat, seharusnya pembagian kuota tambahan ini bisa masuk dalam pokok undang-undang perhajian. Dalam hal ini, masuk dalam RUU Haji yang tengah digodok oleh pemerintah dan DPR.

Sehingga, ke depannya tidak ada masalah soal masalah pembagian kuota ini. Adapun filosofinya, menurut Syam, undang-undang harus merespons sesuatu yang tidak pasti. 

Bahwa, adanya perkembangan pasar, kondisi zaman, hingga faktor ekonomi mempengaruhi soal perhajian, termasuk kuota. Tidak menutup kemungkinan orang yang mampu membeli dan mengunakan peluangnya bisa mendapatkan kesempatan untuk berhaji lebih cepat untuk mendapatkan kuota haji baik kuota haji tahunan ataupun tambahan.

Apalagi ada wacana Arab Saudi siap membuka pintu untuk mendatangkan jamaah haji sebanyak-banyaknya. Bahkan, sudah ada skema haji yang tidak melalui pemerintah suatu negara asalkan memenuhi persyaratan dari Arab Saudi. 

"Kalau ini dibebaskan, kenapa Indonesia juga tak mencari kesempatan untuk mengirim sebanyak-banyaknya jamaah," kata Syam, Rabu (13/8/2025).

Menurut Syam, saat ini daftar antrean haji sungguh sangat panjang. Nah, karena itu harus dikategorikan mana jamaah antre yang sangat mampu, menengah, kurang, atau biasa-biasa saja. 

"Kalau yang kurang, jika dipercepat sulit. Karena mungkin (terkait) tabungannya. Yang ekonomi arus bawah ini ga mungkin dipercepat karena kemampuan beli paket (hajinya) tidak mampu. Kecuali digratiskan, siapa yang ga mau, kan gitu," kata Syam. 

Karena itu, lanjut Syam, beri kesempatan bagi yang mampu haji reguler dan beri kesempatan yang mampu untuk haji khusus. Jadi jangan hanya diperhatikan yang regulernya saja.

Maksud Syam, bukan berarti yang punya kemampuan lebih ini mereka diutamakan, tidak. Tetapi, mereka memang ada kemampuan. Ada kelebihan satu sama lain.

"Karnea itulah ini (soal aturan pembagian kuota tmabahan) harus dimasukkan dalam pokok UU kita sehingga smeua bisa tertampung. Yang belum legal bisa dilegalkan sehingga bisa terhindar dari masalah hukum," kata Syam.

Tak lupa, Syam mengatakan jangan dilupakan soal pengawasan. Jangan sampai penyelenggara haji kecolongan dari orang-orang yang cari kesempatan dalam kesempitan. 

"Semakin lemah UU kita semakin bisa dimanfaatkan orang yang mencari kesempatan," kata Syam.

Dan Syam mengingatkan, UU soal haji harus memayungi masyarakat haji Indonesia. Baik jamaah khusus maupun reguler termasuk juga penyelenggaranya.

Sehingga menurut Syam, jika ada pendapat yang mengatakan soal pembagian kuota haji tambahan 2024 itu yaitu 50 persen/10 ribu untuk jamaah haji reguler dan 50 persen/10 ribu untuk jamaah haji khusus, jadi masalah, ya karena payung hukumnya tidak ada. Tapi, dia mengingatkan ini juga belum tentu salah karena salah atau benar ditentukan di pengadilan. Karenanya, dia mengingatkan agar tetap mengedepankan asas praduga tak bersalah terhadap mereka yang saat ini disidik oleh KPK.

Read Entire Article
Berita Republika | International | Finance | Health | Koran republica |