Santri Salsabila: Merdeka Ilmu, Merdeka Jiwa, Merdeka Indonesia

2 hours ago 3

Image Badrut Tamam

Edukasi | 2025-08-15 09:19:56

Oleh: Dr. Hj. Titi Kadi, M.Pd.I

Kemerdekaan sering kali kita rayakan dengan gegap gempita setiap 17 Agustus. Bendera berkibar di setiap sudut kampung, lagu kebangsaan menggema di lapangan, dan pidato-pidato tentang perjuangan berkumandang di mimbar-mimbar. Namun, di Pondok Pesantren Salsabila, kemerdekaan bukan sekadar seremoni tahunan. Ia adalah napas kehidupan, ruh perjuangan, dan orientasi pendidikan yang dihidupkan setiap hari.

Bagi kami, kemerdekaan sejati bukan sekadar lepas dari penjajahan fisik. Ia adalah pembebasan yang utuh—membebaskan bangsa dari kebodohan, kemiskinan, perpecahan, dan kemerosotan moral. Inilah yang kami maknai dengan Merdeka Ilmu, Merdeka Jiwa, Merdeka Indonesia.

Merdeka Ilmu: Bebas dari Kebodohan, Maju dengan Pengetahuan

Sejarah bangsa ini mencatat bahwa banyak ulama dan santri yang mengangkat senjata, bukan hanya di medan perang, tetapi juga di medan ilmu. Mereka memahami bahwa untuk mempertahankan kemerdekaan, bangsa harus memiliki kekuatan pengetahuan. KH. Hasyim Asy’ari dengan pesantren Tebuireng-nya, KH. Ahmad Dahlan dengan Muhammadiyah-nya, dan banyak ulama lain telah membuktikan bahwa pendidikan adalah senjata yang lebih tajam dari pedang.

Di Pesantren Salsabila, Merdeka Ilmu berarti membebaskan santri dari kebodohan. Mereka tidak hanya mempelajari kitab kuning, tafsir, dan hadits, tetapi juga pengetahuan umum yang relevan dengan zaman: teknologi, bahasa asing, sains, hingga literasi digital. Pesantren tidak boleh terjebak pada romantisme masa lalu, tetapi harus berani menjadi pelaku masa depan.

Kami percaya bahwa ilmu yang dikuasai santri bukan untuk dirinya sendiri, tetapi untuk kemaslahatan umat dan kejayaan bangsa. Ilmu agama memberi arah moral, sementara ilmu umum memberi daya saing. Perpaduan keduanya melahirkan generasi yang tidak hanya alim, tetapi juga mampu berkompetisi di tingkat global tanpa kehilangan jati diri.

Di era disrupsi seperti sekarang, kebodohan bukan lagi semata-mata ketidaktahuan, tetapi juga ketertinggalan dalam mengakses dan memanfaatkan informasi. Karena itu, Merdeka Ilmu juga berarti melatih santri agar kritis, kreatif, dan adaptif. Mereka diajak untuk menjadi produsen pengetahuan, bukan sekadar konsumen.

Merdeka Jiwa: Kebebasan dari Penyakit Hati dan Mental yang Lemah

Kemerdekaan yang sejati tidak akan tercapai jika jiwa masih terikat pada sifat-sifat buruk yang melemahkan. Malas, takut, iri hati, dengki, dan ketidakjujuran adalah bentuk perbudakan mental yang jauh lebih berbahaya daripada penjajahan fisik. Sejarah mengajarkan bahwa bangsa yang kalah secara mental akan mudah ditaklukkan, bahkan tanpa perang.

Pesantren Salsabila menanamkan Merdeka Jiwa sebagai pembebasan dari semua sifat yang menggerogoti kekuatan batin. Jiwa yang merdeka adalah jiwa yang berani berkata benar meskipun pahit, siap berbuat baik tanpa pamrih, dan mampu menjaga persatuan di tengah perbedaan. Dalam kehidupan berbangsa, ini adalah modal sosial yang tak ternilai harganya.

Latihan-latihan membebaskan jiwa ini dilakukan melalui pembiasaan akhlak mulia. Mulai dari kejujuran dalam hal sederhana—seperti mengembalikan barang yang bukan miliknya—hingga keberanian menyampaikan pendapat secara santun. Santri dilatih untuk mandiri, mengatur waktu, mengelola emosi, dan menghormati orang lain, karena semua itu adalah bagian dari karakter merdeka.

Kita sering lupa, bahwa korupsi, intoleransi, dan ujaran kebencian yang marak di masyarakat hari ini sebenarnya adalah gejala dari jiwa yang belum merdeka. Jika kita ingin Indonesia benar-benar merdeka, maka membebaskan jiwa dari penyakit hati adalah pekerjaan yang sama pentingnya dengan membangun infrastruktur atau meningkatkan ekonomi.

Merdeka Indonesia: Kemerdekaan yang Utuh dan Berkelanjutan

Ketika santri telah merdeka secara ilmu dan jiwa, barulah kita bisa berbicara tentang Merdeka Indonesia. Kemerdekaan yang utuh bukan hanya terbebas dari penjajahan fisik, tetapi juga dari kemiskinan struktural, kebodohan massal, perpecahan sosial, dan kemerosotan moral.

Indonesia yang merdeka adalah Indonesia yang berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan—seperti yang diimpikan oleh Bung Karno. Namun, cita-cita itu tidak akan pernah terwujud jika generasi mudanya rapuh, mudah diadu domba, dan hanya menjadi konsumen produk budaya asing tanpa kemampuan menciptakan budaya sendiri.

Pesantren Salsabila memandang bahwa peran santri dalam memerdekakan Indonesia bukanlah retorika kosong. Santri harus menjadi agent of change di lingkungannya. Dengan ilmu yang mereka miliki, mereka bisa mencerdaskan masyarakat; dengan jiwa merdeka yang mereka asah, mereka bisa menjadi teladan; dan dengan semangat kebangsaan yang mereka pelihara, mereka bisa menjaga persatuan di tengah keberagaman.

Pesantren Sebagai Rumah Pembinaan Generasi

Pondok Pesantren Salsabila hadir sebagai rumah yang memadukan pendidikan akal, hati, dan jiwa. Kami mendidik akal dengan ilmu yang bermanfaat, membentuk hati dengan akhlak mulia, dan menguatkan jiwa dengan cinta tanah air.

Pendidikan di sini tidak hanya mempersiapkan santri untuk lulus ujian akademik, tetapi juga untuk lulus ujian kehidupan. Mereka dibekali kemampuan untuk berdiri tegak dalam menghadapi badai zaman, sambil tetap rendah hati dalam menikmati angin keberhasilan.

Di pesantren, santri belajar disiplin melalui jadwal yang ketat, belajar kepemimpinan melalui organisasi santri, dan belajar kesabaran melalui kehidupan bersama. Semua ini membentuk pribadi yang tangguh, yang kelak siap mengabdi kepada bangsa di berbagai bidang—baik sebagai guru, ulama, pemimpin masyarakat, pengusaha, maupun profesional di bidangnya masing-masing.

Dari Pesantren yang Sederhana, Lahir Kekuatan Besar

Sejarah bangsa ini sudah berkali-kali membuktikan bahwa kekuatan besar sering lahir dari tempat yang sederhana. Pesantren-pesantren di pelosok desa telah melahirkan tokoh-tokoh nasional yang pengaruhnya melampaui batas wilayah dan zaman.

Pondok Pesantren Salsabila percaya, dari lingkungan sederhana, dengan semangat yang tulus dan pendidikan yang terarah, akan lahir generasi yang mampu mengubah wajah negeri. Kami tidak mengejar kemewahan fasilitas semata, tetapi memprioritaskan kualitas pendidikan dan pembinaan karakter.

Dengan pena, akhlak, dan karya, santri Salsabila siap membangun Indonesia yang maju, adil, dan bermartabat. Pena untuk mencerdaskan bangsa, akhlak untuk menjaga persatuan, dan karya untuk meningkatkan kesejahteraan.

Merdeka Adalah Perjuangan yang Tak Pernah Usai

Kemerdekaan tidak pernah datang sebagai hadiah. Ia adalah hasil perjuangan yang panjang, dan pekerjaan yang tak pernah berhenti. Di tengah arus globalisasi yang membawa peluang sekaligus ancaman, Merdeka Ilmu, Merdeka Jiwa, Merdeka Indonesia bukan hanya slogan, tetapi strategi bertahan hidup sebagai bangsa yang bermartabat.

Santri Salsabila adalah penerus perjuangan, pelanjut cita-cita kemerdekaan, dan pengawal persatuan Indonesia. Kami percaya bahwa kemerdekaan yang utuh hanya bisa dicapai jika seluruh rakyat, terutama generasi mudanya, merdeka secara ilmu dan jiwa.

Dari pesantren yang sederhana ini, kami memulai langkah. Dengan tekad yang bulat dan doa yang tak putus, kami ingin memastikan bahwa kemerdekaan yang diperjuangkan para pendiri bangsa akan terus hidup, berkembang, dan diwariskan dari generasi ke generasi.

Karena kemerdekaan sejati adalah ketika ilmu, jiwa, dan negeri ini benar-benar bebas.#

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Read Entire Article
Berita Republika | International | Finance | Health | Koran republica |