Nettyhera
Politik | 2025-08-10 20:41:46

Indonesia, negeri yang dijuluki zamrud khatulistiwa, memiliki limpahan kekayaan alam luar biasa. Iklim tropis yang mendukung, curah hujan yang melimpah, serta tanah yang subur sejatinya merupakan modal besar untuk menjadi negara agraris mandiri. Namun, fakta yang terjadi justru mencengangkan. Di tengah kampanye besar-besaran soal kemandirian pangan dan semangat cinta produk lokal, data menunjukkan bahwa impor wortel Indonesia pada awal 2025 justru meroket hingga 1.000.000 persen!
Dalam laporan CNBC Indonesia (31/7/2025) berjudul “Katanya Punya Lahan Subur, Impor Wortel RI Malah Meledak 1.000.000%”, dijelaskan bahwa selama periode Januari–Mei 2025, Indonesia mengimpor wortel sebesar 7.490 kg dengan nilai mencapai US$ 7.000 atau sekitar Rp 114 juta. Meskipun angka ini terlihat kecil dalam nilai nominal, namun lonjakan persentasenya sangat tajam dibanding periode sama tahun sebelumnya yang nyaris nihil. Bahkan, menurut data sebelumnya yang dilansir CNBC Indonesia (29/7/2025) dalam artikel “Kacau Balau! Impor Wortel RI Meledak 1,3 Juta Persen!”, lonjakan tersebut bahkan mencapai 1.300.000 persen.
Tak ayal, berita ini menjadi ironi yang menyentil nurani. Betapa tidak, wortel—sayuran yang tumbuh subur di pegunungan Indonesia—justru harus didatangkan dari luar negeri, terutama dari China dan Australia, padahal daerah seperti Kawasan Lembang (Jawa Barat) dan Brastagi (Sumatera Utara) dikenal sebagai sentra produksi wortel nasional.
Akar Masalah Lonjakan Impor
Fenomena ini bukan sekadar masalah data statistik atau persoalan teknis logistik semata. Ia mencerminkan cacat sistemik dalam tata kelola pangan nasional. Pertama, Indonesia menganut sistem ekonomi terbuka yang menjadikan perdagangan bebas (free trade) sebagai kiblat utama. Dalam sistem ini, negara tidak boleh terlalu ikut campur untuk melindungi pasar domestik karena dianggap "merusak kompetisi sehat." Akibatnya, produk-produk dari luar negeri dapat dengan mudah masuk, termasuk produk hortikultura seperti wortel.
Kedua, ketergantungan terhadap impor adalah buah dari pengabaian terhadap sektor pertanian lokal. Kebijakan pembangunan lebih berorientasi pada sektor industri, jasa, dan ekspor komoditas primer. Petani lokal sering diabaikan, tidak diberi dukungan maksimal, bahkan cenderung dimatikan secara perlahan karena kalah saing dengan harga produk impor yang lebih murah, meski kadang kualitasnya lebih rendah.
Ketiga, sistem distribusi dan tata niaga pangan di Indonesia sangat tidak efisien. Harga di tingkat konsumen bisa tinggi, sementara harga di tingkat petani sangat rendah. Ini menunjukkan bahwa ada mata rantai panjang dan tidak adil dalam sistem pangan kita. Tak heran jika petani kerap merugi dan tidak bergairah untuk melanjutkan usaha taninya.
Petani Terpinggirkan, Negeri Terjajah
Meskipun wortel bukan termasuk komoditas pangan utama seperti beras atau jagung, lonjakan impor tetap menunjukkan gejala yang mengkhawatirkan. Ketergantungan pada pasokan luar negeri, sekecil apa pun skalanya, tetap membawa risiko. Bila sewaktu-waktu produksi dalam negeri melemah dan harga internasional mengalami lonjakan, maka dampaknya akan langsung terasa di pasar rakyat. Harga bisa melonjak tanpa kendali, dan masyarakat kecil yang paling pertama merasakan bebannya.
Lebih jauh jika tren ini dibiarkan, kedaulatan pangan Indonesia pun akan semakin rapuh. Petani lokal bisa gulung tikar, produksi dalam negeri menurun, dan pada akhirnya ketergantungan terhadap impor makin tinggi dan negara mengalami krisis pangan.
Tak hanya itu, dari sisi psikologis, fenomena ini bisa membunuh rasa percaya diri bangsa. Bagaimana mungkin negara yang subur harus bergantung pada impor sayuran? Jika produk sesederhana wortel saja harus diimpor, bagaimana dengan produk pangan strategis lainnya seperti gandum, kedelai, hingga daging?
Solusi Islam: Kedaulatan Pangan Sebagai Kewajiban Negara
Berbeda dengan sistem kapitalisme neoliberal yang menyerahkan pengelolaan pangan kepada mekanisme pasar bebas, Islam memiliki paradigma yang sangat tegas dalam menjamin kedaulatan dan keamanan pangan rakyat. Dalam sistem Khilafah, negara memiliki peran aktif dan wajib dalam menjaga ketahanan pangan.
Pertama, larangan impor produk yang bisa dihasilkan sendiri. Dalam kaidah fiqih, dikenal prinsip:
> “Segala sesuatu yang bisa dicukupi oleh negeri sendiri, maka tidak boleh mengimpor dari negeri kafir.”
Kebijakan ini diterapkan oleh para khalifah dalam sejarah Islam. Ketika suatu produk dapat dipenuhi oleh produksi dalam negeri, maka negara tidak akan membuka keran impor karena itu akan mematikan ekonomi rakyatnya sendiri.
Contohnya, pada masa Khalifah Umar bin Khattab, negara sangat memperhatikan nasib petani. Beliau mengatur distribusi lahan dan memastikan bahwa hasil pertanian bisa terserap di pasar tanpa diganggu oleh produk asing. Negara juga memberikan subsidi, insentif, dan pembinaan teknis kepada petani agar produksi pertanian meningkat.
Kedua, negara menjamin distribusi hasil pertanian berjalan adil. Tidak boleh ada pihak-pihak yang memainkan harga, melakukan penimbunan, atau menguasai pasar. Negara akan turun tangan langsung untuk memastikan harga di tingkat petani dan konsumen stabil dan adil.
Ketiga, negara menyediakan infrastruktur pertanian yang memadai. Termasuk irigasi, pupuk, bibit unggul, alat pertanian, serta teknologi pertanian modern. Semua ini menjadi tanggung jawab negara sebagai bagian dari pelayanan terhadap rakyat.
Keempat, tanah pertanian tidak boleh dikuasai oleh korporasi besar. Dalam Islam, tanah yang ditelantarkan lebih dari 3 tahun dapat diambil alih negara dan diberikan kepada rakyat yang mau mengelolanya. Tujuannya jelas: memastikan produksi pangan tetap berjalan dan rakyat memiliki akses terhadap sumber daya.
Bukan Menutup Diri, Tapi Melindungi
Sebagian pihak mungkin akan mencibir dan menyebut bahwa larangan impor adalah bentuk proteksionisme buta dan bertentangan dengan semangat globalisasi. Namun, Islam tidak melarang perdagangan internasional. Hanya saja, perdagangan dalam Islam harus memperhatikan keadilan dan kedaulatan. Negara boleh berdagang dengan negara lain selama tidak merugikan rakyat dan tidak membuka celah bagi penjajahan ekonomi.
Justru yang salah adalah ketika negara membiarkan produk asing membanjiri pasar lokal tanpa batas, sementara rakyatnya sendiri dibiarkan kalah bersaing, miskin, dan tidak punya akses ke pasar.
Penutup: Kembali pada Islam
Lonjakan impor wortel yang mencapai jutaan persen ini harus menjadi alarm keras bagi bangsa ini. Bukan sekadar masalah wortel, tapi ini adalah potret betapa kita telah gagal menjaga kedaulatan pangan dan terlalu tunduk pada sistem ekonomi global yang merugikan.
Saatnya kita tidak hanya mempertanyakan kebijakan-kebijakan teknis yang merugikan rakyat, tetapi juga meninjau ulang sistem besar yang melahirkannya. Selama negeri ini tetap berpijak pada sistem kapitalisme yang mengagungkan pasar bebas, kepentingan rakyat akan terus terpinggirkan. Sudah waktunya kita beralih kepada sistem yang benar-benar berpihak pada kesejahteraan umat—yakni sistem Islam yang adil dan menyejahterakan, sehingga negeri yang subur ini benar-benar subur untuk rakyatnya, bukan hanya menjadi pasar bagi produk luar negeri.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.