Menengok Penerapan Kebijakan 50 Siswa per Kelas di SMAN 1 Depok, Tambah AC Pun Dinilai Bukan Solusi

11 hours ago 29

REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK – Seperti perintah yang diatur oleh Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi, SMAN 1 Depok mengupayakan kebijakan ini berjalan sesuai instruksi. Dengan maksimal satu kelas berisi 50 siswa, setelah hasil analisis, SMAN 1 Depok terapkan 48 siswa per kelas.

Republika pada Selasa (22/7/2025) mereportase kondisi di lapangan dan mewawancarai 6 siswa kelas X. Baru dua hari mulai kegiatan belajar mengajar (KBM), kebijakan ini dinilai tidak efisien untuk ke depannya.

Kebijakan ini membuat kelas yang kini ditempati siswa kelas X sebenarnya adalah ruangan yang biasa digunakan untuk kelas XII. Pihak sekolah terpaksa memindahkan seluruh kelas XII ke ruangan yang lebih kecil karena kebutuhan menampung 48 siswa kelas X yang memerlukan ruang lebih luas.

Azzahwa Fitri Harrara (15), siswa kelas X, mengungkapkan ketidaksetujuannya terhadap kebijakan ini. "Menurut saya, kebijakannya kurang berkenan karena saya merasa terlalu banyak orang di dalam suatu ruangan yang tidak terlalu besar banget," ujarnya saat ditemui Republika, Selasa (22/07/25).

Azzahwa menambahkan bahwa suasana kelas saat istirahat menjadi terlalu ramai dengan hampir 50 orang. "Saya jadi merasa kurang konsentrasi ketika mengobrol dengan teman karena teman-teman yang lain jadi lebih teriak-teriak ngomongnya," keluhnya.

Menurut pandangan Ratifa Bella (15), yang juga merupakan kelas X, tidak semua sekolah di Jawa Barat memiliki fasilitas yang memadai seperti di sekolahnya. Bahkan, yang memadai sekalipun tidak menjamin kebijakan ini berjalan mulus ke depannya.

Ia juga menegaskan soal perkataan Dedi Mulyadi soal ‘tambah AC’, padahal, itu bukan masalah utamanya. Meski merasa kelasnya masih kondusif, ia tetap tidak menyetujui kebijakan ini.

"Walaupun saya merasa nyaman, saya tetap cenderung tidak setuju. Ini juga cukup merugikan guru karena guru perlu menilai lebih banyak murid dan membagi pandangan kepada semua murid yang lebih banyak. Bahkan ketika 36 orang saja belum tentu efisien, bagaimana dengan 48 orang," tegasnya.

Stanislaus Marvel (15) juga menceritakan pengalaman pertamanya memasuki kelas. "Kesan pertama saya ketika melihat kelasnya, saya bahkan tidak bisa masuk untuk duduk karena bagian depan sudah berdempetan sekali. Terpaksa kita harus keluarkan satu kursi dulu baru bisa masuk," ungkapnya dengan miris.

Gendis Chandani (15) menambahkan, "Kemarin di hari sebelumnya ada 50 meja kursi dan dua di antaranya tidak bisa terbuka karena terlalu sempit space di antara kelas tersebut."

Masalah udara yang panas juga menjadi keluhan utama. Khaira Putri (15) menyatakan, "Keluhannya mungkin terlalu panas, terutama di jam istirahat ketika semua bergerak, di situ udaranya sumpek banget," kata Khaira.

Abid Ghassan (15), khawatir akan dampak dari kebijakan ini terhadap kualitas belajar mengajar. “Tapi menurut saya untuk ke depannya sepertinya yang akan menjadi dampak negatifnya adalah pembelajaran di mana guru akan, yang sepenglihatan saya ya, guru itu kinerja mengajarnya berkurang karena dia harus membagi pandangan ke kurang lebih 50 orang, jadi mungkin tidak merata atau ada yang tidak paham karena guru tidak bisa mengontrol satu per satu," jelasnya.

Ratna Ristianti (48), guru biologi SMAN 1 Depok, mengakui adanya tantangan saat mengajar. Tantangan terbesar menurutnya adalah saat praktikum.

"Ketika di lab, anak-anak akan menjumpai cukup banyak alat yang menarik perhatian. Kesulitannya adalah kita perlu ekstra dalam mengawasi mereka karena tidak sembarang alat bisa dipegang begitu saja. Dengan jumlah 48-50 orang, itu tidak mudah untuk mengawasi," jelasnya.

Para siswa berharap kebijakan ini dapat dikaji ulang. Azzahwa menyarankan,

"Harapan saya untuk ke depannya mungkin kepada pemerintah Provinsi Jawa Barat agar bisa lebih mengkaji ulang tentang kebijakan ini agar siswa-siswi dapat belajar dengan baik dan nyaman," katanya.

Ratifa menambahkan bahwa solusinya bukan hanya penambahan AC. "Menurut saya ini harus dikaji ulang, mulai dari penambahan kelas, bukan hanya penambahan AC. Karena Pak Dedi Mulyadi sering kali hanya menyebut penambahan AC, padahal itu bukan masalah utamanya," tutupnya.

Read Entire Article
Berita Republika | International | Finance | Health | Koran republica |