Melawan Jebakan Dilema Komunikasi Kebijakan

8 hours ago 4

Oleh : Abraham Wahyu Nugroho, Analis Departemen Komunikasi, Bank Indonesia

REPUBLIKA.CO.ID, Communication is kind of art. Tidak salah, namun tidak sepenuhnya benar, setidaknya bagi penulis. Sebagai salah satu rumpun ilmu sosial humaniora, penulis beropini komunikasi merupakan ilmu pasti, sains, harus eksak apabila dimaknai dalam suatu ranah kebijakan organisasi atau entitas lembaga publik. Harus pasti dan pas takarannya. Terlalu sedikit takarannya membuat publik bertanya-tanya, bahkan berpotensi diasumsikan secara sepihak. Terlalu banyak takarannya malah membuat publik overdosis, too much information syndrome, berujung pada kelelahan dan apatisme.

Meminjam salah satu jargon jenama, komunikasi juga harus pasti pas. Pas pada tujuan yang akan dibidik, pas substansinya, serta pas timing-nya. Terkesan tidak mudah, bahkan bagi pekerja komunikasi yang sudah lama menggelutinya puluhan tahun. Kepastian takaran komunikasi ini kadangkala berbenturan dengan ketidakajegan lingkungan luar yang serba dinamis, apabila ini dapat dikatakan sebagai suatu alasan penyangkalan. Sehingga jamak ditemui, dengan berbagai pengukuran, komunikasi dinilai tidak sukses memberikan edukasi dan pemahaman bagi publik, yang merupakan intisari proses komunikasi itu sendiri.

Dikaitkan dengan kebijakan publik, komunikasi merupakan sebuah aorta jantung yang menyalurkan dan mendistribusikan pelbagai esensi kebijakan di seluruh jaringan tubuh. Sangat vital, sehingga komunikasi bisa jadi penentu bagaimana kebijakan publik akan diterima, dipahami, digunakan, didukung, atau bahkan ditolak. Karenanya, apabila ditarik mundur, “dapur” komunikasi pun harus mampu beradaptasi, meramu takaran sajian menu yang pas, atau menstrategikan komunikasi, supaya mampu melayani publik sesuai dengan selera santapan komunikasinya.

Lebih dari sekadar menyampaikan informasi publik, fungsi komunikasi esensinya melengkapi ruh kebijakan itu sendiri. Komunikasi yang dilakukan secara jujur akan membangun legitimasi dan akuntabilitas kebijakan. Keterbukaan komunikasi tersebut akan memudahkan publik memahami alasan di balik suatu kebijakan – yang mungkin untuk beberapa kasus, awalnya tidak mudah diterima bagi publik. Tidak ada cara lain, konsistensi komunikasi yang jujur merupakan prasyarat atas tingginya penerimaan substansi komunikasi, yang pada akhirnya secara bersama akan mampu membangun public trust.

Komunikasi jujur sebuah organisasi atau entitas lembaga publik merupakan obat mujarab dari bisingnya narasi hoaks, informasi palsu, yang kerap berseliweran memenuhi ruang publik. Sekali lagi, bukan pekerjaan mudah bagi pelaku komunikasi. Namun, hanya dari sumber terpercayalah, yakni para komunikator penghasil kebijakan, upaya penjernihan ini dimulai. Saat ini, pola komunikasi secara proaktif dan konsisten dari sumber resmi dinilai menjadi benteng terakhir untuk memastikan publik menerima informasi yang akurat dan terverifikasi.

Namun begitu, bisa jadi, komunikasi dipandang berbeda-beda oleh beragam organisasi. Ada yang memandang sekadar pelengkap, sehingga ditempatkan pada posisi “yang penting ada”. Ada pula yang menjadikan komunikasi sebagai aorta jantung tadi, sehingga ditempatkan pada posisi strategis, puncak organisasi, atau setidaknya berdekatan dengan pengambil keputusan tertinggi. Dipastikan, keluaran yang dihasilkan antarkeduanya dapat berbeda kualitas sajian menu komunikasinya.

Grunig (1985), pakar komunikasi kenamaan telah lama mencetuskan teori yang saat ini masih menjadi pegangan bagi komunikator, dinamakan Excellence Theory. Teori ini menyebut bahwa karakteristik/ciri penting dari public relations/PR (fungsi komunikasi) yang unggul adalah keterlibatannya dalam manajemen strategis. Agar berdaya untuk memberikan dampak terbesar, praktisi PR harus memiliki akses ke pemimpin puncak organisasi, serta juga perlu terlibat dalam setiap proses pengambilan keputusan tingkat atas.

Read Entire Article
Berita Republika | International | Finance | Health | Koran republica |