
RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Tubuhnya tegap, suaranya lantang, dan puisinya menunjukkan sikap yang tegas, itulah gambaran sosok laki-laki bernama Yaman Sangadji atau lebih dikenal dengan Mantek Sangadji ketika tampil di atas panggung Lomba Cipta & Baca Puisi 2025 yang diadakan oleh Makara Art Center UI dan Komoenitas Makara pada Jumat 8 Agustus 2025.
Lomba bertema ‘Merdeka Bahagia untuk Semua’ mengajak masyarakat mencintai dunia Sastra Indonesia dengan berkompetisi mengirimkan karya puisi sekaligus membacakannya. Mantek Sangadji termasuk peserta yang lolos seleksi ke babak final lomba ini.
Di babak final, Mantek membawakan karya puisinya berjudul “Merdeka, Bahagia untuk Semua? (Untuk mereka yang belum sepenuhnya merdeka)”.
Baca juga: Kejuaraan Surfing Internasional di Jabar, 3 Atlet Selancar Ombak Asal Depok Kantongi 4 Mendali
Dalam puisinya pria kelahiran Ambon 25 Mei 1990 mempertanyakan apakah kemerdekaan sudah dirasakan oleh masyarakat Indonesia Timur seperti Maluku, NTT, dan Papua ?.
Mantek yang juga anggota Komoenitas Makara terlihat menguasai panggung, bahkan dia bisa membawa penonton terbawa emosi karena ikut terbawa masuk dalam cerita yang digambarkan dalam puisinya tersebut.
“Harapan saya lewat puisi ini sederhana: agar kemerdekaan benar-benar terasa sampai ke Indonesia Timur. Bukan hanya lewat upacara dan bendera, tapi lewat keadilan, infrastruktur yang layak, pendidikan, kesehatan, dan harga kebutuhan yang terjangkau. Kami ingin diakui bukan sebagai sudut yang dilupakan, tapi sebagai bagian utuh dari merah putih yang sama-sama dicintai," tutur Mantek.
Baca juga: Dinas PUPR Depok Sewakan Alat Berat, Ini Tarifnya!
Meski ia tidak naik ke podium juara dalam lomba ini namun karyanya banyak disukai penonton karena banyak yang terharu ketika mendengar karya puisinya dibacakan.
Berikut adalah puisi karya Mantek Sangadji itu: Merdeka, Bahagia untuk Semua? (Untuk mereka yang belum sepenuhnya merdeka)
Mereka berkata:
"Merdeka itu bahagia untuk semua." Tapi aku bertanya: Apakah Indonesia Timur juga bahagia? Di Jakarta, bendera dikibarkan megah, di Papua, anak-anak berjalan jauh tanpa alas kaki, di NTT, ibu-ibu menimba air dari sumur yang nyaris mati, dan di Maluku, nelayan masih berlayar tanpa jaminan pasti.
Baca juga: DKUM Depok akan Luncurkan Program Kue Subuh di UMKM Center ITC
Mereka menyanyi tentang kemerdekaan, tapi di pelosok, suara rakyat sering hanya jadi angin yang hilang. Apakah merdeka hanya milik mereka yang hidup di kota terang, sementara kami masih menyalakan pelita dari minyak yang sayang?
Bahagia itu bukan sekadar tertawa saat upacara, tapi ketika tak lagi resah memikirkan makan apa. Bahagia itu ketika anak-anak bisa belajar tanpa takut gedung roboh, ketika tak ada lagi yang wafat karena puskesmas terlalu jauh.
Indonesia Timur tak butuh belas kasihan, kami hanya ingin keadilan yang sama. Kami juga bagian dari merah putih yang kalian banggakan, bukan sudut yang hanya dikenang saat pesta kenegaraan.
Baca juga: Ratusan Warga Kalibaru Depok Terima Bantuan Beras
Jika benar merdeka untuk semua, datanglah, lihatlah kami dengan mata yang jujur, dengarlah kami dengan telinga yang tidak tuli oleh kekuasaan, dan rangkullah kami dengan cinta bukan hanya data.
Kami masih percaya, bahwa 80 tahun ini belum terlambat. Asal negeri ini tak hanya mengibarkan bendera, tapi juga menyeka air mata mereka yang lama terlupa.
Kami tidak minta istana berdinding marmer, cukup jalan yang tak berlumpur, guru yang tidak absen, dan harga sembako yang tak melonjak tanpa ampun, agar kami bisa hidup layak, tanpa rasa menjadi beban.
Baca juga: PLN Melesat ke Fortune Global 500, Digitalisasi dan Beyond kWh jadi Kunci
Kemerdekaan itu ketika kami tidak lagi merasa dianaktirikan, ketika pembangunan tak hanya berhenti di papan proyek, dan saat janji kampanye bukan sekadar puisi politik yang menguap setelah kotak suara ditutup rapi.
Maka jika ingin bahagia itu untuk semua, jangan lupa kami yang menjaga perbatasan, yang hidup di ujung pulau, di balik kabut gunung, tapi tetap mencintai Indonesia meski sering dilupakan. (***)