REPUBLIKA.CO.ID, GAZA – Warga Gaza yang menderita kelaparan parah saat ini menyatakan sudah kehabisan harapan terhadap saudara-saudara Muslim mereka di negara-negara Arab dan negara mayoritas Muslim. Dua tahun penderitaan mereka dan kelaparan parah belakangan tak juga bisa menggerakkan aksi nyata menghentikan kekejaman Israel.
Empat di antara yang meninggal kelaparan kemarin termasuk tiga yang diidentifikasi sebagai bayi Yousef al-Safadi, Abd al-Jawad al-Ghalban, 16, dan Ahmad Hasanat. Salah satu orang dewasa diidentifikasi sebagai wanita berkebutuhan khusus berusia 32 tahun, Raheel Rosros.
"Tidak ada yang peduli dengan kami, tidak ada negara Arab, Muslim atau barat, tidak ada satupun yang bersimpati dengan kami dan apa yang terjadi pada anak-anak kami," kata ayah Raheel Rosros, Muhammad, dikutip Middle East Eye (MEE).
Ia mendesak dunia untuk memandang orang-orang di Gaza dengan “mata belas kasihan”. “Kami adalah masyarakat yang damai, kami tidak berperang, kami menginginkan gencatan senjata segera. Kami ingin bantuan masuk. Kami ingin hidup seperti umat [negara-negara Muslim]. Bagaimana kehidupan anak-anak di dunia, kami ingin anak-anak kami hidup seperti itu.
“Seluruh umat, dan seluruh dunia telah menutup mata terhadap kami. Seluruh dunia telah mengkhianati kami… tidak ada seorang pun yang berdiri bersama kami kecuali Allah.”
Kompleks Medis Al-Shifa mengumumkan semalam kematian 21 anak dalam tiga hari terakhir akibat kelaparan yang diakibatkan oleh pendudukan terhadap rakyat Palestina di Jalur Gaza. Hal ini terjadi pada saat bencana kemanusiaan di Gaza meningkat ke tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Direktur kompleks medis, Mahmoud Abu Salmiya, mengatakan kematian yang dilaporkan selama 72 jam terakhir di tiga rumah sakit di utara dan selatan Jalur Gaza mencerminkan meningkatnya bencana. Dia mengungkapkan ketakutannya akan jumlah kematian yang mengkhawatirkan akibat kelaparan yang diderita penduduk Jalur Gaza. Ia menambahkan, 900.000 anak di Gaza menderita kelaparan, termasuk 70.000 anak yang sudah memasuki tahap “malnutrisi”.
Perserikatan Bangsa-Bangsa dan organisasi internasional memperingatkan bahwa lebih dari dua juta orang di Gaza menghadapi kelaparan di tengah blokade Israel dan pembatasan masuknya bantuan, seiring perang pemusnahan yang terus berlanjut selama hampir 21 bulan.
Muhammad Rosros mengatakan kepada MEE bahwa putrinya yang menderita kekurangan gizi dan dehidrasi dimulai lebih dari sebulan yang lalu. “Sejak sebelum perang dimulai, dia biasa makan apapun yang dia inginkan, tapi dia kehilangan semua yang dia minta,” katanya.
Dia mengindikasikan bahwa dia tidak bisa menerima jenis makanan yang dibawa ke Gaza dalam beberapa bulan terakhir. Beberapa warga Palestina sebelumnya mengatakan kepada MEE bahwa setelah menerima kotak bantuan, mereka mendapati persediaan yang ada tidak mencukupi.
Rosros menjelaskan, dulu putrinya memiliki berat badan sekitar 50 kilogram. Dia meninggal dengan berat kurang dari 25 kilogram. Dia menambahkan, saudara perempuannya, yang juga berkebutuhan khusus, syahid akibat pemboman Israel awal tahun ini. “Satu meninggal akibat penembakan, satu lagi meninggal karena gizi buruk,” ujarnya. "Alhamdulillah."
Rosros khawatir dia akan kehilangan dua anaknya yang lain karena kekurangan gizi. “Saya tidak lagi mengkhawatirkan anak-anak saya karena penembakan dan pemboman yang terus-menerus. Sekarang, saya mengkhawatirkan mereka karena kelaparan, itu saja,” katanya.
Ayah empat anak ini mengatakan bahwa dia baru-baru ini membayar 120 shekel (sekitar Rp 560 ribu) hanya untuk satu kilogram tepung, dan 70 shekel (sekitar Rp 320.000) untuk segelas kecil minyak goreng.
Akibat kenaikan tajam harga pangan dan kebutuhan pokok lainnya, Rosros yang saat ini menganggur mengaku tidak tahu lagi bagaimana ia akan menafkahi anak-anaknya yang masih hidup di hari-hari mendatang.
“Hanya Tuhan yang tahu bagaimana kami bisa mendapatkan apa pun, bagaimana kami mengumpulkan setiap suapan, bagaimana kami memberi makan anak-anak kami. “Tapi tidak ada yang bersimpati. Tidak ada uang, tidak ada pendapatan, tidak ada kehidupan,” ujarnya.
Ibu Ghalban, Marwa al-Ghalban, menjelaskan bahwa putranya menderita kelumpuhan otak, dan perpindahan, malnutrisi, dan dehidrasi telah memperburuk kondisinya yang sudah rapuh sebelum dia meninggal dini hari tadi.
“Hari ini, Allah membawanya pergi, dengan segala rahmat-Nya,” kata Ghalban kepada MEE.Dia menambahkan bahwa terakhir kali putranya makan makanan yang layak adalah saat Ramadhan di bulan Maret. “Situasinya semakin memburuk sejak saat itu,” jelasnya.
Ghalban mengatakan putranya telah kehilangan banyak berat badan dalam beberapa bulan terakhir, dan memperkirakan massa tubuhnya turun menjadi hanya 12 kilogram. Dia membutuhkan suplemen nutrisi, susu, dan popok, namun tidak ada yang tersedia karena blokade dan kekurangan yang sedang berlangsung di Israel.
Pamannya, Abdel Sattar al-Ghalban, mencatat bahwa Abd al-Jawad memerlukan diet khusus yang mencakup makanan berprotein tinggi, susu, dan gula. “Ada kekurangan makanan, air, dan susu yang mempengaruhi semua anak-anak Palestina. Banyak dari mereka yang meninggal karena kekurangan gizi, dan banyak lagi yang akan meninggal karena kekurangan makanan dan air,” katanya kepada MEE.
“Sebagian besar anak-anak di Palestina sekarat karena kelaparan. Bahkan orang dewasa pun mulai pingsan karena kekurangan gizi dan dehidrasi, bagaimana mungkin seorang anak bisa menanggung hal ini?”