Ekonom Usul Pemerintah Gunakan Indikator Kemiskinan yang Lebih Progresif

18 hours ago 6

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Peneliti Next Policy, Shofie Azzahrah, mengkritik target kemiskinan ekstrem nol persen pada 2029 yang dinilai terlalu mudah dicapai jika standar garis kemiskinan yang digunakan masih rendah. Ia menilai, seharusnya standar garis kemiskinan dinaikkan mengikuti acuan Bank Dunia agar capaian nol persen pada akhir pemerintahan Prabowo Subianto–Gibran Rakabuming Raka menjadi lebih bermakna.

“Target pemerintah untuk menghapus kemiskinan ekstrem hingga nol persen pada 2029 tidak ambisius dan terlalu mudah dicapai karena didasarkan pada standar kemiskinan yang sangat rendah,” kata Shofie dalam keterangan yang diterima Republika, Selasa (29/7/2025).

Ia menilai kebijakan tersebut lebih merupakan strategi politik pencitraan dibandingkan komitmen nyata dalam menanggulangi kemiskinan secara struktural.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka kemiskinan ekstrem Indonesia pada Maret 2025 sebesar 0,85 persen atau setara 2,38 juta jiwa. Angka ini turun dari 1,26 persen atau 3,56 juta jiwa pada Maret 2024.

Penurunan tersebut terjadi seiring dengan perubahan standar garis kemiskinan ekstrem dari 1,90 dolar AS purchasing power parity (PPP) menjadi 2,15 dolar AS PPP per kapita per hari. Shofie berpendapat standar tersebut masih tergolong sangat rendah.

“Jika pemerintah menggunakan garis kemiskinan ekstrem sebesar 2,15 dolar AS PPP, maka target nol persen bisa dicapai bahkan sebelum 2029. Artinya, target itu bukanlah prestasi luar biasa, tapi hanya buah dari manipulasi indikator,” ujarnya.

Angka kemiskinan ekstrem diklaim pemerintah terus menurun dalam lima tahun terakhir. Sejak 2020, angka tersebut tercatat menurun secara konsisten dari 2,25 persen (2020), 2,14 persen (2021), 1,52 persen (2022), 1,12 persen (2023), hingga 0,83 persen (2024).

Namun, Shofie menekankan capaian tersebut sangat bergantung pada standar yang digunakan. Dalam perhitungan Next Policy, jika menggunakan standar Bank Dunia terbaru sebesar 3,00 dolar AS PPP per kapita per hari, maka angka kemiskinan ekstrem Indonesia per Maret 2024 justru mencapai 8,55 persen, jauh di atas angka resmi pemerintah.

“Garis 2,15 dolar AS PPP itu sudah tidak lagi relevan. Indonesia sudah naik kelas menjadi negara berpenghasilan menengah atas. Kita membutuhkan ukuran kemiskinan yang lebih progresif, agar intervensi kebijakan benar-benar menjangkau kelompok miskin yang nyata, bukan yang disederhanakan oleh angka,” tutur Shofie.

Ia menyebut target nol persen kemiskinan ekstrem pada 2029 sebagai bentuk ‘target gagah yang kosong’, karena dirancang agar mudah dicapai, bukan untuk menyelesaikan akar permasalahan kemiskinan secara nyata.

“Pemerintah menciptakan target yang terlihat heroik, tetapi pada dasarnya hanya mengandalkan standar minimal. Ini manipulatif secara politik,” ujarnya.

Menurutnya, penggunaan indikator tersebut bisa menciptakan ilusi keberhasilan sambil mengabaikan realitas puluhan juta rakyat miskin yang hidup sedikit di atas garis kemiskinan ekstrem. Shofie menekankan bahwa kebijakan pengentasan kemiskinan seharusnya mendorong reformasi struktural dan distribusi kesejahteraan yang lebih adil.

“Jika kita benar-benar ingin menghapus kemiskinan ekstrem, maka target nol persen harus didasarkan pada garis 3,00 dolar AS PPP per kapita per hari, bukan yang lebih rendah,” katanya.

Shofie menambahkan, dengan standar yang lebih tinggi tersebut, strategi pertumbuhan ekonomi juga akan terdorong menjadi lebih inklusif dan berpihak kepada kelompok masyarakat bawah. “Kita hanya bisa memberi apresiasi pada target nol persen jika didasarkan pada ukuran yang realistis dan bermakna,” tegasnya.

Read Entire Article
Berita Republika | International | Finance | Health | Koran republica |