Oleh : Ratna Puspita, Dosen pada Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Pembangunan Jaya (UPJ)
REPUBLIKA.CO.ID, "Jangan lupakan Gaza… Dan jangan lupakan aku dalam doa tulusmu memohon ampunan dan penerimaan."
Pernyataan tersebut dituliskan oleh jurnalis Aljazeera Anas Jamal Al-Sharif pada 6 April 2025. Teman-teman Anas mengunggah tulisan tersebut di akun X Anas, @AnasAlSharif0, beberapa saat setelah dia mengembuskan napas terakhirnya.
Anas meninggal dunia bersama empat rekannya dalam serangan Israel ke sebuah tenda yang menampung jurnalis di Kota Gaza, Palestina, Senin (11/8/2025) Waktu Indonesia Barat. Sesaat sebelum dibunuh Israel, Anas juga sempat mengunggah di media sosialnya, Instagram dan X, bahwa Israel telah melancarkan pemboman yang sangat intens.
Anas tahu dia telah menjadi target Israel. Dunia juga tahu. Pada 3 Agustus 2025, demonstran di Utrecth, Belanda, melakukan aksi solidaritas bersama Anas Al-Sharif. Dalam aksi tersebut, demonstran melakukan aksi solidaritas untuk Palestina dan dukungan kepada jurnalis di Gaza. Anas bergabung secara online dalam demonstrasi tersebut.
Dalam aksi tersebut, demonstran membawa banner bertuliskan "Journalism is not a crime. Stop Targeting Journalist." Mereka juga membawa banner bergambar foto Anas sembari menyorakan agar Israel berhenti menargetkan jurnalis di Gaza.
Selama 22 bulan, Anas tidak berhenti melaporkan berbagai hal yang terjadi di Gaza, termasuk kematian koleganya. Pada 21 Juli 2025, Anas berpakaian rompi bertuliskan PRESS dan memegang mic berwarna biru dengan logo Aljazeera tampil di depan televisi untuk mengabarkan kelaparan di Gaza.
Dia mengusap air matanya dan menundukkan kepalanya untuk kemudian melaporkan kondisi di Gaza. Dalam unggahannya di X, Anas menyebutkan dia tidak kuasa menahan kengerian pembantaian yang dilakukan Israel di Gaza. "Namun, saya mendengar suara rakyat saya yang kelaparan berteriak di samping saya: 'Teruslah maju, Anas, jangan berhenti, kaulah suara kami'."
Harapan rakyat Gaza pada Anas bukan tanpa alasan. Media sering kali disebut sebagai voice of the voiceless. Namun, seperti yang pernah diucapkan Profesor Amerika Serikat (AS) Noam Chomsky, suara orang-orang Palestina sejalan dengan kekuasaan yang mereka miliki. Ini kemudian membuat media internasional lebih sering tidak berpihak pada Palestina.
Salah satu praktik yang dilakukan oleh media untuk menunjukkan keberpihakan atau ketidakberpihakan adalah melalui framing atau pembingkaian. Pembingkaian ditunjukkan melalui pilihan kata, sudut pandang, dan narasi yang disajikan dalam berita.
Ketika melaporkan pendudukan Israel di Palestina, media internasional bukan aktor yang pasif. Sebaliknya, mereka menjadi aktor aktif yang membentuk cara publik memahami kondisi di Gaza.
Namun, alih-alih menceritakan aktor yang membuat Hind Rajab, bocah berusia 6 tahun, tewas di Gaza. Media internasional menyembunyikan aktor tersebut.
Begitu pula ketika melaporkan Suleiman Al-Obeid, mantan pemain tim sepak bola nasional Palestina, dibunuh saat menunggu untuk mendapatkan bantuan kemanusiaan pada pekan lalu. Media internasional tidak menyebutkan siapa aktor yang membunuhnya atau siapa aktor yang menyebabkan rakyat di Gaza harus mendapatkan bantuan kemanusiaan.
Framing yang dilakukan media internasional berupaya menentukan siapa yang dianggap benar atau salah, korban atau pelaku dalam konteks Israel dan Palestina. Tidak hanya itu, media internasional juga menciptakan legitimasi moral dan politik bagi intervensi militer yang dilakukan Israel di Gaza.