Dini Safitri
Agama | 2025-11-02 04:59:52
Dalam dunia yang serba cepat dan penuh distraksi digital, seorang Ayah berada dalam pertanyaan retorisnya: apa warisan terbaik yang bisa saya tinggalkan untuk anak-anak saya? Pertanyaan ini memiliki jawaban di Al-Qur’an dengan jawaban yang sangat jelas dan mendalam. Dalam Surah Al-Baqarah ayat 130–133, Allah mengabadikan momen penting ketika Nabi Ibrahim dan Nabi Ya’qub mewariskan wasiat kepada anaknya. Wasiat tersebut bukan harta, bukan jabatan, melainkan iman dan ketundukan kepada Allah sebagai warisan utama bagi anak-anak mereka.
“Wahai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini untukmu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan Muslim.” (QS. Al-Baqarah: 132)
Ayat ini bukan sekadar nasihat spiritual, tetapi juga panduan parenting lintas generasi. Nabi Ibrahim dan Ya’qub tidak hanya mengajarkan tauhid secara lisan, tetapi juga menanamkannya melalui keteladanan, dialog, dan penguatan identitas keimanan dalam keluarga. Kedua Ayah ini, secara proaktif memastikan bahwa nilai-nilai keimanan menjadi bagian dari percakapan terakhir dengan anak-akanya, sebelum wafat sang Ayah wafat.
Mewariskan Keyakinan, Bukan Sekadar Pengetahuan
Dalam konteks parenting modern, ayat-ayat ini mengajarkan bahwa mewariskan keyakinan jauh lebih penting daripada sekadar memberikan pengetahuan agama. Anak-anak perlu melihat bagaimana orang tua mereka berserah diri kepada Allah dalam keseharian, dalam setiap keputusan, dalam saat kesulitan, maupun dalam keberhasilan. Keteladanan ini membentuk karakter dan spiritualitas anak secara alami.
Ayat 133 pada QS. Al Baqoroh, menggambarkan dialog yang sangat intim antara Nabi Ya’qub dan anak-anaknya menjelang wafat. Ia bertanya, “Apa yang kamu sembah sepeninggalku?”—sebuah pertanyaan reflektif yang mengundang anak untuk menyatakan komitmen imannya secara sadar. Ini menjadi pelajaran penting bagi orang tua: jangan takut berdialog tentang iman, nilai, dan tujuan hidup bersama anak-anak, bahkan sejak dini.
Saat ini, arus informasi yang deras dan nilai-nilai yang terus bergeser, menjadikan warisan tauhid menjadi jangkar yang akan meneguhkan identitas anak. Setiap ayah tentunya paham, Pendidikan agama bukan hanya urusan sekolah atau guru ngaji, tetapi tanggung jawab utamanya sebagai orang tua. Seperti Nabi Ibrahim yang berkata, “Aku berserah diri kepada Tuhan seluruh alam” (QS. Al-Baqarah: 131). Dengan demikian, ayah masa kini perlu menunjukkan bahwa iman adalah fondasi dalam setiap aspek kehidupan.
Menjadi Ayah Pewaris Tauhid
Menjadi seorang ayah bukan hanya tentang membesarkan anak, tetapi juga tentang mewariskan arah hidup. Surah Al-Baqarah ayat 130–133 mengingatkan kita bahwa warisan terbaik bukanlah rumah, tabungan, atau gelar, melainkan iman yang hidup dan mengakar. Para Ayah, dapat mulai dari rumah, dari meja makan, dari pelukan sebelum tidur untuk berdialog dengan anak mengenai keimanan dan kecintaan kepada Allah. Dengan diiringi untaian doa dan keteladanan dari sosok Ayah, akan menumbuhkan generasi yang berserah diri kepada Allah. Generasi yang beriman bukan hanya dalam lisan, tetapi dalam perilaku kehidupan mereka sehari-hari.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

9 hours ago
6

























