Suara-Suara Nelangsa Rakyat Miskin Kota di Tengah Isu Gaji Fantastis Anggota Dewan Jakarta

3 hours ago 2

REPUBLIKA.CO.ID, Melejitnya gaji dan berbagai tunjangan untuk anggota dewan belakangan ini menuai amarah publik. Demonstrasi berujung kerusuhan pun pecah di berbagai daerah pada akhir Agustus lalu.

Sebelum direvisi, anggota DPR RI tercatat bisa menerima take home pay lebih dari Rp100 juta per bulan, termasuk tunjangan rumah Rp50 juta. Namun, angka itu ternyata masih kalah besar dibanding DPRD DKI Jakarta yang justru mendapat tunjangan rumah Rp70 juta, sehingga total pendapatan mereka bisa menembus Rp139 juta per bulan, tertinggi di Indonesia.

Jumlah fantastis gaji dan tunjangan anggota DPRD DKI Jakarta menjadi ironis jika kita bandingkan dengan kondisi rakyat miskin kota yang masih banyak tersebar di Ibu Kota. Kantong-kantong kemiskinan bahkan lokasinya tak jauh dari gedung DPRD Jakarta yang berdiri megah di pusat Kota Jakarta.

Di kolong Jembatan Juanda dekat Masjid Istiqlal hingga kawasan Menteng Dalam misalnya, riuh rendah terdengar pengakuan pedagang kecil yang mencoba bertahan hidup di tengah kondisi ekonomi yang tak pasti. Emi (60 tahun) menjadi di antara contoh potret kaum papa warga Jakarta.

Di bawah kolong jembatan dekat Stasiun Juanda, tepatnya di tangga jembatan penyeberangan orang (JPO), Emi hampir setiap hari duduk di pojok belokan tangga membentangkan tisu dagangannya di atas boks. Emi duduk hanya beralaskan kardus bekas yang mudah robek. Kala Republika menghampirinya, Senin (8/9/2025), hujan turun sedang deras-desanya, namun Emi tidak pernah patah semangat untuk terus mengais rezeki di tangga JPO yang basah dan becek.

Rumah Emi di daerah Gedong Panjang, Jakarta Barat. Emi berangkat pukul 7 pagi dari rumah menuju lapaknya menggunakan Jaklingko. Emi mengaku harus menjalani rutinitas itu demi menafkahi cucu-cucunya.

“Berangkatnya saya udah jam 7 lewat, nunggu cucu saya sekolah dulu. Cucu saya kan bapaknya nggak ngasih duit,” kata Emi.

Pendapatannya dalam sehari tidak menentu. Emi menyebut kadang bisa mendapatkan Rp100 ribu, kalau lagi sepi hanya mendapatkan Rp40 ribu. Di tengah menanti pembeli yang tak pasti, Emi juga harus memikirkan biaya membeli obat untuk suaminya yang memiliki penyakit asam urat. Dia mengaku harus mengeluarkan uang untuk berobat suaminya kurang lebih Rp200 ribu sampai Rp300 ribu.

Emi menjelaskan, rumah yang ditempati di daerah Gedong Panjang itu adalah kontrakan. “Jelek rumahnya mah pendek. Pas-pasan doang, kontrakan ya begini,” tambahnya.

Emi mengaku tahu polemik isu gaji anggota dewan yang menurutnya tidak masuk akal itu. “Kita cari makan di sini saja susah, makan cuma pake tahu sama tempe. Uang segede itu bisa buat biaya hidup saya setahun lebih, kita sehari saja cuma dapet Rp50 ribu,” tuturnya.

Bergeser sedikit ke gerbang Masjid Istiqlal, Nafsia (46) berdiri menjual kantong plastik, sebagai tempat jamaah menyimpan alas kaki. Kantong plastik hitam yang dijajakannya tidak dipatok harga sehingga pembeli bisa membayar seikhlasnya.

Nafsia selalu menawarkan kantong plastiknya kepada jamaah yang lewat. Dia mulai berjualan dari siang hari sampai menjelang magrib.

Kehidupan Nafsia serba pas-pasan. Anak bungsunya masih sekolah, dan Nafsia mengaku masih kerap menunggak uang sekolah anaknya karena tidak sanggup membayar tepat waktu.

“Kalau ada rezeki, ya bisa bayar. Kalau nggak ada, saya sering bingung,” ucap Nafsiah.

Mengetahui jumlah jumbo gaji dan tunjangan anggota dewan, Nafsia mengaku tidak ingin menjadi iri hati. Menurutnya, rezeki sudah ada yang mengatur.

“Rasanya jauh banget sama kita. Saya dapat Rp50 ribu saja sudah syukur. Selalu bersyukur karena rezeki sudah ada yang atur,” tambahnya.

Dengan kondisi yang memprihatinkan itu, Nafsia hanya bisa berharap pemerintah menjalankan tugas sesuai dengan amanahnya. “Kalau uang sebanyak itu dipakai bantu rakyat kecil, pasti banyak yang kebantu. Soal gaji besar itu, biarlah. Yang penting saya nggak nyerah,” tutupnya.

Read Entire Article
Berita Republika | International | Finance | Health | Koran republica |