Oleh : Heka Hertanto, Pemerhati dan Pegiat Harimau Konservasi di Artha Graha Peduli
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Seorang petani kopi di Kabupaten Lampung Barat, Lampung ditemukan tewas pada Kamis, 10 Juli 2025 dengan kondisi tubuh tak utuh karena diserang oleh harimau. Ada beberapa bagian tubuh yang hilang yakni kaki kanan, ada luka gigitan di di leher, serta beberapa anggota tubuh lain.
Tragedi ini sudah sering terjadi dan terus terjadi di Sumatera dan wilayah lainnya. Apakah harimau berkonflik dengan manusia atau manusia berkonflik dengan harimau? Apakah manusia yang masuk habitat harimau atau harimau yang masuk Kawasan manusia?
Keberadaan harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) di tengah belantara tropis Pulau Sumatera bukan sekadar simbol keagungan alam Indonesia. Ia adalah penjaga ekosistem hutan, predator puncak yang menjaga keseimbangan populasi mangsa, sekaligus indikator utama kesehatan lingkungan. Namun, saat ini, harimau sumatera sedang menghadapi krisis eksistensial yang mengancam keberlangsungan hidupnya di alam liar.
Kehilangan Habitat dan Ancaman Nyata
Populasi harimau sumatera hingga 2024 diperkirakan sekitar 600 ekor di habitat alam. Ancaman terbesar datang dari degradasi habitat, deforestasi, konflik dengan manusia, dan perburuan liar. Ironisnya, lebih dari 70 persen habitat harimau berada di luar kawasan konservasi, terutama di area konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI), perkebunan kelapa sawit, dan wilayah penggunaan lahan lainnya. Dalam 14 tahun terakhir, enam lanskap konservasi prioritas harimau di Sumatera kehilangan 12,5 persen tutupan hutannya—sebuah angka yang merepresentasikan penyusutan ruang hidup dan ruang jelajah mereka secara drastis.
Aktivitas perambahan hutan, pembukaan lahan pertanian, dan proyek infrastruktur telah mengurangi ruang hidup harimau secara drastis. Dalam 14 tahun terakhir, enam lanskap konservasi harimau di Sumatera kehilangan 12.5 persen dari tutupan hutan mereka. Penurunan tutupan hutan dari tahun ke tahun telah mempersempit ruang gerak harimau, memaksa mereka untuk memasuki wilayah yang lebih dekat dengan aktivitas manusia. Hal ini tidak hanya mengurangi jumlah mangsa alami, tetapi juga meningkatkan risiko konflik dengan manusia.
Dengan hampir 99 persen populasi harimau berada di luar kawasan konservasi, konflik antara harimau dan manusia menjadi semakin sering terjadi. Banyak kasus kematian harimau karena jeratan yang dipasang oleh warga. Ketika ruang jelajah dan pasokan makanan berkurang, harimau merasa terancam dan sering kali menyerang ternak, yang memicu respons negatif dari masyarakat
Fragmentasi hutan dan ekspansi masif aktivitas manusia mendorong harimau mendekati pemukiman, memicu konflik yang makin intens. Dalam banyak kasus, harimau ditangkap menggunakan jerat atau dibunuh karena menyerang ternak. Ketika rantai makanan terputus dan ruang jelajah menyempit, harimau menjadi korban atas keterbatasan yang dipaksakan oleh manusia.
Perburuan Liar Mengancam
Selain hilangnya habitat, perburuan ilegal terus menjadi momok. Organ tubuh harimau masih diperdagangkan secara sembunyi-sembunyi, baik untuk konsumsi budaya maupun komoditas pasar gelap internasional. Upaya penegakan hukum memang dilakukan, namun belum cukup untuk menghentikan perburuan liar yang merusak upaya konservasi selama bertahun-tahun.
Peluang dari Sinergi dan Konservasi Kolaboratif
Meski situasinya genting, harapan belum pupus. Peluang untuk menyelamatkan harimau sumatera tetap terbuka lebar, jika pendekatan konservasi dilakukan secara menyeluruh, kolaboratif, dan berbasis ekosistem.
Pertama, pelibatan sektor swasta menjadi langkah penting. Program HTI ramah konservasi sebagai integrasi antara produksi dan pelestarian dapat diwujudkan melalui tata kelola lanskap yang berkelanjutan.
Kedua, strategi konservasi perlu menggabungkan pendekatan in-situ (di habitat alami) dan eks-situ (di luar habitat alami). Restorasi hutan yang terdegradasi serta pengelolaan kawasan konservasi berbasis ilmiah dan sosial bisa memperluas ruang hidup harimau secara signifikan.
Ketiga, peran masyarakat lokal tidak bisa diabaikan. Edukasi publik dan pelibatan komunitas adat dalam konservasi terbukti efektif dalam mengurangi konflik dan memperkuat perlindungan terhadap satwa liar. Harimau tidak bisa dilestarikan dengan pendekatan eksklusif; ia harus menjadi bagian dari narasi hidup masyarakat sekitarnya.
Keempat, pengalaman negara lain seperti Nepal menunjukkan bahwa kombinasi antara kebijakan progresif, restorasi ekosistem, dan pelibatan warga bisa meningkatkan populasi harimau secara signifikan dalam waktu satu dekade. Indonesia memiliki sumber daya dan modal sosial untuk melakukan hal serupa—dengan komitmen yang konsisten.
Simbol Budaya dan Penentu Masa Depan Ekologis
Harimau sumatera bukan hanya spesies langka, ia adalah ikon budaya, identitas ekologis, dan penjaga keseimbangan hayati. Kehilangannya bukan sekadar kehilangan satu jenis satwa, tapi alarm atas krisis ekosistem yang lebih luas. Jika predator puncak pun tak mampu bertahan di habitatnya sendiri, maka yang sedang terancam bukan hanya harimau, tetapi juga manusia.
Upaya menyelamatkan harimau sumatera tidak bisa ditunda. Pemerintah, pelaku industri, akademisi, masyarakat sipil, dan komunitas internasional harus bersatu dalam misi yang sama: menjaga sisa-sisa benteng alam terakhir Indonesia. Dengan komitmen kolektif dan langkah nyata, kita masih bisa mewujudkan masa depan di mana harimau sumatera tetap mengaum gagah di belantara Sumatera.
Masa depan harimau sumatera adalah masa depan ekosistem kita. Menyelamatkannya berarti menyelamatkan hutan, air, iklim, dan kehidupan manusia itu sendiri.