REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV— Dalam sebuah pernyataan yang mengungkap esensi proyek Zionis, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyatakan keterikatannya mendalam pada visi "Israel Raya".
Dia menguraikan elemen-elemen doktrin ekspansionis yang telah meluas sejak dimulainya gerakan Zionis, melampaui batas-batas negara yang diakui secara internasional, dan membuka nafsu untuk melakukan pemukiman dan pencaplokan dengan mengorbankan tanah-tanah Arab dan Palestina.
Pernyataan ini bukanlah sebuah kecerobohan atau provokasi yang tidak disengaja, melainkan pengungkapan yang disengaja atas sebuah proyek ideologis yang mapan.
Kehadirannya tetap ada dalam pemikiran dan kebijakan Israel, yang diperbarui setiap kali situasi regional dan internasional memungkinkan.
Artikel ini mengulas waktu pengumuman Netanyahu tentang mimpinya tentang "Israel Raya" dan akar historis dan intelektual dari konsep ini dari masa-masa awal Zionisme Revisionis hingga kemunculannya kembali secara eksplisit dalam pidatonya baru-baru ini.
Uraian juga menganalisis dimensi-dimensi dari pernyataan ini, antara latar belakang ideologis dan perhitungan politiknya saat ini.
Konsep "Israel Raya" dan konteks sejarahnya
Istilah "Israel Raya" merujuk pada visi ekspansionis tentang perbatasan negara Israel, yang dalam beberapa versi didasarkan pada deskripsi Alkitab dan sejarah.
Ada beberapa versi yang berbeda dari visi ini, dengan beberapa versi yang meluas hingga mencakup seluruh wilayah Palestina yang bersejarah (dari sungai ke laut) dan beberapa bagian dari negara-negara tetangga, sementara versi yang lebih ekstrem mencakup beberapa bagian dari Yordania, Lebanon, Suriah, Mesir, dan bahkan Irak serta Jazirah Arab.
TEL AVIV— Dalam sebuah pernyataan yang mengungkap esensi proyek Zionis, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyatakan keterikatannya mendalam pada visi "Israel Raya".
Dia menguraikan elemen-elemen doktrin ekspansionis yang telah meluas sejak dimulainya gerakan Zionis, melampaui batas-batas negara yang diakui secara internasional, dan membuka nafsu untuk melakukan pemukiman dan pencaplokan dengan mengorbankan tanah-tanah Arab dan Palestina.
Pernyataan ini bukanlah sebuah kecerobohan atau provokasi yang tidak disengaja, melainkan pengungkapan yang disengaja atas sebuah proyek ideologis yang mapan.
Kehadirannya tetap ada dalam pemikiran dan kebijakan Israel, yang diperbarui setiap kali situasi regional dan internasional memungkinkan.
Artikel ini mengulas waktu pengumuman Netanyahu tentang mimpinya tentang "Israel Raya" dan akar historis dan intelektual dari konsep ini dari masa-masa awal Zionisme Revisionis hingga kemunculannya kembali secara eksplisit dalam pidatonya baru-baru ini.
Uraian juga menganalisis dimensi-dimensi dari pernyataan ini, antara latar belakang ideologis dan perhitungan politiknya saat ini.
Konsep "Israel Raya" dan konteks sejarahnya
Istilah "Israel Raya" merujuk pada visi ekspansionis tentang perbatasan negara Israel, yang dalam beberapa versi didasarkan pada deskripsi Alkitab dan sejarah.
Ada beberapa versi yang berbeda dari visi ini, dengan beberapa versi yang meluas hingga mencakup seluruh wilayah Palestina yang bersejarah (dari sungai ke laut) dan beberapa bagian dari negara-negara tetangga, sementara versi yang lebih ekstrem mencakup beberapa bagian dari Yordania, Lebanon, Suriah, Mesir, dan bahkan Irak serta Jazirah Arab.
Istilah ini muncul dengan kuat setelah Perang Juni 1967, ketika Israel menguasai Tepi Barat, Jalur Gaza, Yerusalem Timur, Sinai, dan Dataran Tinggi Golan.
Namun, akar dari ide tersebut lebih dalam dari itu. Gerakan Zionis Revisionis yang dipimpin oleh Ze'ev Jabotinsky—bapak spiritual gerakan Likud Netanyahu— mengadopsi ide "Israel Raya".
Ini dengan mempertimbangkan bahwa tanah air nasional Yahudi harus mencakup Palestina Mandat baik di bagian barat maupun timurnya, yaitu seluruh wilayah Palestina yang bersejarah, termasuk Tepi Barat dan Gaza, di samping Transyordania (Yordania sekarang).
Pada saat itu, para revisionis mengangkat slogan: "Kedua tepi Sungai Yordan adalah milik kita" untuk menekankan keyakinan mereka akan hak Israel atas tepi timur sungai tersebut.
Secara historis, posisi Israel dalam visi ini bervariasi. Setelah ekspansi besar-besaran pada 1967, Israel mengembalikan Sinai ke Mesir di bawah Perjanjian Camp David pada 1979, namun secara resmi mencaplok Yerusalem Timur dan Dataran Tinggi Golan melalui undang-undang sepihak yang ditolak oleh komunitas internasional.
Tepi Barat dan Jalur Gaza tetap berada di bawah pendudukan langsung tanpa deklarasi resmi aneksasi, meskipun ada kebijakan penjajahan besar-besaran yang mengkonsolidasikan kontrol de facto atas kedua wilayah tersebut.
Dengan Perjanjian Oslo pada tahun 1990-an, yang secara teoritis membuka pintu bagi pendirian sebuah negara Palestina, istilah "Israel Raya" menurun dalam wacana resmi, tetapi tetap ada di kalangan nasionalis dan religius sayap kanan.
Sejak didirikan, Partai Likud menentang keras pendirian negara Palestina, dan memasukkan dalam program-program awalnya janji untuk tidak menyerahkan Tepi Barat dan Gaza.
Meskipun pidato Netanyahu pada 2009 menawarkan apa yang tampaknya merupakan penerimaan bersyarat atas gagasan negara Palestina, kebijakan-kebijakan selanjutnya mencerminkan penolakan praktis terhadap solusi dua negara.
Hari ini, pernyataan terbarunya menghidupkan kembali istilah yang telah dihindari oleh para pemimpin Israel untuk diucapkan di depan umum selama beberapa dekade karena konotasi kolonialnya yang berbahaya, yang menandakan kembalinya ekspansionisme ke pusat wacana resmi di tingkat tertinggi.
Antara dogma ideologis dan pragmatisme politik
Pernyataan Benjamin Netanyahu yang mendukung visi "Israel Raya" dibuat dalam konteks politik dan keamanan yang sangat tegang, ketika dia mengeksploitasi suasana pasca-7 Oktober untuk membenarkan perang pemusnahan di Gaza dan pendekatan serupa berupa pembunuhan dan pengungsian di Tepi Barat.
Pada 12 Agustus 2025, dalam sebuah wawancara dengan saluran i24 News yang ditujukan untuk pemirsa lokal dan internasional, penyiar sayap kanan Sharon Gal menghadiahkan sebuah kalung bertuliskan peta "Tanah Terjanji".
Peta tersebut lengkap dengan batas-batas yang diperluas yang mencakup Palestina yang diduduki dan beberapa bagian Yordania, Libanon, Suriah, dan Mesir.
Ketika ditanya apakah dia merasa terhubung dengan visi ini, Netanyahu menjawab dengan tegas: "sangat", sambil menambahkan bahwa dia sedang menjalankan misi sejarah dan spiritual untuk memenuhi impian generasi penerus bangsa Yahudi.
Fakta bahwa pernyataan-pernyataan ini dibuat di depan khalayak domestik, dalam bahasa Ibrani, dan di hadapan media ultra-nasionalis, bukanlah sebuah kebetulan.
Mereka membawa pesan-pesan yang meyakinkan kepada basis sayap kanan dan sekutu-sekutunya dalam koalisi yang berkuasa seperti Smotrich dan Ben-Gvir, bahwa visinya tidak kalah ekstremnya dengan agenda-agenda mereka.
Hal ini juga muncul mengingat pemungutan suara Knesset pada Juli 2025 yang mendukung resolusi simbolis mendukung pencaplokan Tepi Barat, di samping undang-undang yang disahkan oleh pemerintah Netanyahu pada 2023 yang membatalkan pelepasan Gaza dan mengabadikan kedaulatan hukum Israel atas permukiman.
Perkembangan-perkembangan di lapangan ini membuat "Israel Raya" menjadi perpanjangan verbal dari kebijakan pencaplokan yang merayap di lapangan, bukan hanya slogan sesaat.
Dimensi ideologis sangat kuat dalam kepribadian politik Netanyahu, karena dia adalah pewaris mazhab Zionisme "korektif" yang didirikan oleh Jabotinsky, yang percaya bahwa perbatasan Israel saat ini hanyalah sebuah tahap sementara menuju proyek yang lebih besar.
Namun, ada juga dimensi pragmatis yang jelas. Netanyahu menggunakan retorika ini pada saat-saat kritis di dalam negeri untuk mendongkrak popularitasnya yang menurun akibat perang berkepanjangan di Gaza, ketidakmampuannya untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan, serta meningkatnya protes terhadap kebijakan-kebijakannya, dan di saat yang sama memperoleh pengaruh di tingkat regional, seperti proses normalisasi.
Dengan demikian, keyakinan ideologis tumpang tindih dengan kalkulasi politik, dalam sebuah wacana yang membiarkan pintu terbuka untuk semua skenario dan dengan jelas mencerminkan bahwa proyek Zionis di mata Netanyahu belum selesai.
Deklarasi kepatuhan terhadap "Israel Raya" bukanlah posisi propaganda belaka, melainkan bagian dari visi strategis yang dipicu oleh perkembangan di lapangan dan aliansi politik saat ini.
Implikasi politik dan hukum yang berbahaya
Terlepas dari upaya beberapa kalangan di Israel untuk meminimalisir dampak pernyataan Netanyahu dan menganggapnya sebagai pengingat sejarah semata, isinya jelas-jelas bertentangan dengan dasar-dasar hukum internasional, terutama yang berkaitan dengan kebijakan aneksasi dan penolakan terhadap perampasan tanah secara paksa.
Ketika perdana menteri Israel menyatakan dirinya sangat terikat pada visi "Israel Raya", ini berarti dalam praktiknya dia menolak perbatasan yang diakui secara internasional dan memperlakukan kehadiran Palestina merdeka di Tepi Barat atau Gaza sebagai sesuatu yang bersifat sementara dan ditakdirkan untuk lenyap demi kedaulatan Israel.
Sebuah pertanyaan mendasar muncul di sini yakni bagaimana jika seorang pejabat non-Israel mengatakan bahwa negaranya berusaha mencaplok wilayah tetangga dan menggantikan negara yang ada dengan kedaulatannya sendiri?
Tidak diragukan lagi, tanggapan internasional akan cepat dan tajam, dengan sanksi langsung, dan mungkin intervensi politik atau militer.
Ironisnya, pernyataan Netanyahu, terlepas dari keseriusannya, tidak menghadapi gelombang kecaman dan tindakan yang sama, yang mencerminkan standar ganda yang jelas.
Pertanyaan yang paling kontroversial ialah mengapa faksi-faksi Palestina dikecam keras dan digambarkan sebagai gerakan ekstremis ketika mereka menyatakan bahwa mereka ingin mendirikan sebuah negara Palestina dari sungai ke laut dan mengembalikan para pengungsi ke tanah mereka sesuai dengan Resolusi PBB 194, sementara pernyataan resmi Israel yang secara terbuka menyerukan perluasan dan pencaplokan dianggap sebagai urusan internal yang berlalu begitu saja?
Standar ganda ini tidak hanya melemahkan segala kemungkinan solusi yang adil, tetapi juga meruntuhkan semua nilai dan norma hukum yang ada selama ini.
Lebih serius lagi, kebijakan Israel, baik dalam praktik-praktik praktisnya di lapangan maupun dalam wacana medianya, meruntuhkan segala kemungkinan untuk menerima atau bahkan hidup berdampingan dengan pendudukan, karena konflik ini telah berubah menjadi sebuah proyek kolonial terbuka yang tidak menyisakan ruang bagi penyelesaian atau perdamaian yang sesungguhnya.
Adalah tepat untuk mengajukan pertanyaan tersebut yaitu apakah perdamaian antara Mesir dan Israel hanyalah gencatan senjata sementara dan tipu daya Israel?
Apakah perjanjian Oslo dan Wadi Araba hanya merupakan stasiun-stasiun dalam strategi penipuan yang lebih luas? Apakah proyek-proyek normalisasi yang ada saat ini dan yang akan datang hanya merupakan kelanjutan dari pendekatan ini?
Jika penjajahan mengungkapkan wajah aslinya dengan kejujuran seperti itu, apakah mereka yang menolak gagasan hidup berdampingan dengannya dan bersikeras bahwa ini adalah karakterisasinya yang realistis tidak benar? Lebih jauh lagi, bukankah wacana ini menjadi alasan bagi orang-orang yang berakal sehat untuk sadar dan menyatukan barisan melawan penjajahan yang digambarkan dengan cara ini?
BACA JUGA: Demo Ricuh, Israel di Ambang Perang Saudara: Yahudi Radikal Ancam Tembaki Pendemo Anti-Perang Gaza
Istilah ini muncul dengan kuat setelah Perang Juni 1967, ketika Israel menguasai Tepi Barat, Jalur Gaza, Yerusalem Timur, Sinai, dan Dataran Tinggi Golan.
Namun, akar dari ide tersebut lebih dalam dari itu. Gerakan Zionis Revisionis yang dipimpin oleh Ze'ev Jabotinsky—bapak spiritual gerakan Likud Netanyahu— mengadopsi ide "Israel Raya".