REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kegagalan Timnas Indonesia U-23 menembus Piala Asia 2026 menjadi sorotan besar publik. Kritik deras dialamatkan kepada Gerard Vanenburg, pelatih asal Belanda yang baru beberapa bulan menangani Garuda Muda. Tekanan itu semakin terasa karena sebelumnya ia juga gagal membawa Indonesia juara di Piala AFF U-23 2025 yang digelar di rumah sendiri.
Di ruang-ruang diskusi media sosial, perdebatan semakin sengit. Netizen tak hanya melontarkan kritik, tetapi juga membandingkan Vanenburg dengan pendahulunya, Shin Tae-yong.
Nama STY begitu lekat dalam ingatan karena sukses mengantar Timnas U-23 melaju hingga semifinal Piala Asia 2024. Perbandingan itu makin ramai setelah muncul infografis berisi catatan pertandingan Vanenburg, yakni jumlah gol, pola serangan, hingga detail proses terjadinya gol.
Analisis berbasis data memang menarik, tapi tidak jarang menimbulkan tafsir yang berbeda. Satu data bisa melahirkan kesimpulan beragam, tergantung metodologi yang dipakai. Karena itu, penting menempatkan angka-angka tersebut dengan presisi, agar tidak terjebak pada penilaian yang terburu-buru.
Dalam konteks ini, Budi Setiawan, Founder Football Institute, membandingkan data performa dari perspektif waktu dan kondisi tekanan yang hadir pada masing-masing pelatih timnas Indonesia. Ia membuat perbandingan menyeluruh antara performa Shin Tae-yong dan Gerard Vanenburg di level U-23, sekaligus melihat pencapaian Patrick Kluivert bersama tim senior.
Start mirip, tekanan berbeda
Dari sisi statistik, menurut data perbandingan Football Institute yang diterima Republika, Jumat (12/9/2025), pada tahun pertama mereka, Shin, Kluivert, dan Vanenburg tidak menunjukkan perbedaan mencolok. Namun konteks yang dihadapi masing-masing pelatih jauh berbeda.
Kluivert harus membawa Indonesia lolos ke Babak Keempat Kualifikasi Piala Dunia 2026, sebuah tugas besar dengan lawan-lawan berperingkat jauh lebih tinggi. Vanenburg dituntut membawa Garuda Muda ke Piala Asia U-23 sekaligus menyiapkan skuad menuju Olimpiade 2028.
Shin sendiri, di awal kepemimpinannya, juga belum langsung menghasilkan prestasi mentereng. Statistik memperlihatkan bahwa proses adaptasi memerlukan waktu. Daru pada tahun keempat, tepatnya 2023, Shin berhasil meloloskan U-23 ke putaran final Piala Asia. Sementara Kluivert justru mencetak kejutan dengan membawa tim senior menembus Babak Keempat hanya tiga bulan setelah diangkat.
STY, Vanenburg, dan Kluivert
Jika ditarik ke belakang, debut Shin di Piala AFF menghasilkan peringkat ketiga setelah menang adu penalti atas Malaysia. Vanenburg sedikit lebih baik, mampu membawa timnya ke final meski akhirnya kalah dari Vietnam.
Pada kualifikasi Piala Asia, baik Shin maupun Vanenburg sama-sama gagal di kesempatan pertama. Shin tumbang dua kali dari Australia, sementara Vanenburg finis sebagai runner-up grup tetapi gagal menjadi salah satu tim peringkat kedua terbaik, setelah kalah tipis 0-1 dari Korea Selatan.
Keberhasilan Timnas U-23 menembus semifinal Piala Asia 2024 bersama Shin tak bisa dilepaskan dari skuad yang telah lama ditempa sejak 2021. Nama-nama seperti Ernando Ari, Rizky Ridho, Pratama Arhan, Marcelino Ferdinan, hingga Witan Sulaeman adalah generasi yang tumbuh bersama sang pelatih. Ditambah lagi pemain naturalisasi seperti Ivar Jenner, Justin Hubner, Nathan Tjoe-a-On, dan Rafael Struick, yang sejak awal prosesnya berada di bawah pengawasan Shin.
Sebaliknya, Vanenburg baru bekerja dalam hitungan bulan menjelang turnamen. Ia tidak memiliki kemewahan waktu untuk membangun chemistry dan sistem permainan yang solid. Membandingkan hasilnya dengan era Shin jelas tidak adil.
Dari semua data, jelas terlihat bahwa membandingkan pelatih lintas periode tak semudah membandingkan angka-angka. Ada ruang, waktu, dan konteks yang berbeda.
Shin berproses empat tahun untuk membentuk tim tangguh, sedangkan Vanenburg baru memulai langkahnya. Namun, di tengah dinamika tersebut, satu kredit pantas diberikan pada Patrick Kluivert. Tanpa persiapan panjang dan tanpa pemusatan latihan (TC) yang ideal, ia mampu membawa Indonesia menembus babak lanjutan Kualifikasi Piala Dunia, melawan tim-tim yang secara kualitas berada di atas Garuda.
Gerard Vanenburg mungkin gagal pada ujian pertamanya. Tetapi jika sejarah menjadi cermin, maka kegagalan awal bukanlah vonis akhir. Shin Tae-yong pun melewati jalan berliku sebelum akhirnya menuai hasil. Bagi publik sepak bola Indonesia, mungkin ini saatnya melihat perjalanan timnas dengan perspektif lebih luas. Prestasi besar tidak lahir dalam sekejap, melainkan melalui proses panjang, konsistensi, dan tentu saja waktu.
Perbandingan STY dan Vanenburg
1. Kinerja 1 Tahun Pertama
STY: Melakoni 4 laga di tahun pertama dengan persentase kemenangan di tahun pertama melatih Timnas U-23 adalah sebesar 50% dengan seri 0% dan kalah 50%.
Vanenburg: Melakoni 4 laga di tahun pertama dengan persentase kemenangan di tahun pertama melatih Timnas U23 sebesar 50% dengan seri 0% dan kalah 50%
2. Training Camp
STY: Mendapatkan kesempatan training camp di Tajikistan
Vanenburg: Tidak mendapatkan kesempatan training camp
3. Pencapaian
STY: Kesempatan pertama di Piala AFF mendapatkan perunggu (Peringkat 3), menang adu penalti vs Malaysia. Tidak lolos pada kesempatan pertama di Kualifikasi Piala Asia karena kalah dari Australia.
Vanenburg: Kesempatan pertama di AFF mendapatkan perak (peringkat 2), kalah di final oleh Vietnam. Kesempatan pertama di Kualifikasi Piala Asia, tidak lolos karena berada di urutan kedua grup dan tidak berhasil menjadi salah satu runner up terbaik.
Perbandingan STY dan Kluivert
1. Kinerja 1 Tahun Pertama
STY: Melakoni 15 laga di tahun pertama dengan persentase kemenangan di tahun pertama melatih timnas senior sebesar 46,7% dengan seri 20% dan kalah 33%.
3x Friendly Match,
3x Kualifikasi World Cup
2x Kualifikasi Piala Asia
8x AFF tahun 2022
Kluivert: Melakoni 8 laga di tahun pertama dengan persentase kemenangan di tahun pertama melatih Timnas Senior sebesar 50% dengan seri 16% dan kalah 33,3%.
6x Pertandingan Resmi dan
2x Friendly Match
2. Training Camp
STY: Mendapatkan kesempatan training camp di Turki untuk Piala AFF 2022.
Kluivert: Tidak mendapatkan kesempatan training camp
3. Pencapaian
STY: Kesempatan pertama di Kualifikasi Piala Dunia: Tidak lolos karena 2x kalah dan 1x seri.
Kesempatan pertama di Kualifikasi Piala Asia: 2x menang dari 2 game.
Kesempatan pertama di AFF 2022: Peringkat 2, kalah di final dari Thailand.
Kluivert: Kesempatan pertama di Kualifikasi Round 3 Piala Dunia: lolos ke round 4
dengan 2x menang lawan Cina dan Bahrain dan 2x kalah dari Jepang dan Australia.