Oleh : Muhammad Yusuf; Purna Jaksa, Kepala PPATK 2011-2016, Irjen KKP 2017-2022, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, anomali dimaknai sebagai ketidaknormalan, penyimpangan dari normal atau kelainan. Dari hari ke hari kita dikejutkan dengan kejadian-kejadian yang membuat kita merasa seolah-olah hidup di negeri asing.
Salah satu dari berbagai anomali tersebut juga dapat dilihat dari rilis PPATK tentang transaksi keuangan mencurigakan dan hasil analisis atau hasil pemeriksaan yang memuat indikasi Tindak Pidana Asal terkait transaksi keuangan mencurigakan tersebut.
PPATK sebagai Lembaga Intelijen Keuangan mempunyai kewenangan untuk melakukan tindak lanjut dengan melakukan pemeriksaan dan analisis atas Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan yang dikirimkan oleh Pihak Pelapor. Diantaranya Penyedia Jasa Keuangan antara lain bank, perusahaan pembiayaan dan Penyedia Barang dan Jasa antara lain Perusahaan properti dan pedagang kendaraan bermotor.
Ini sebagaimana dimaksud dalam pasal 17 ayat 1 huruf a dan b Undang-undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Pengertian transaksi keuangan mencurigakan dicantumkan dalam pasal 1 angka 5 huruf a, b, c dan d, undang-undang tersebut. Diantaranya transaksi yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau pola kebiasaan dari sang pengguna jasa/nasabah. Selanjutnya, transaksi yang tujuannya menghindari pelaporan. Kemudian transaksi Keuangan yang menggunakan harta kekayaan yang diduga berasal dari tindak pidana. Dan terakhir, transaksi Keuangan yang diminta oleh PPATK
Menurut lansiran PPATK, transaksi Korupsi tahun 2024 mencapai Rp 984 triliun. Ini berasal dari Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM) sebanyak 7.564 laporan. Dari analisis terhadap 7.564 LTKM tersebut dihasilkan Hasil Analisis (HA) yang dikirim ke penegak hukum sebanyak 239 HA.
Kalau kita perhatikan terdapat keanehan atau anomali antara jumlah LTKM yang diterima PPAT, dan yang ditindaklanjuti serta dianalisis hingga menjadi HA dan dikirim ke penegak hukum.
Pertanyaannya, apakah hanya sebanyak itu Hasil Analisis yang dihasilkan dari 7.564 laporan dengan nilai transaksi Rp 984 triliun. Kemudian dari 239 Hasil analisis tersebut ternyata tidak semua sampai ke pengadilan. Hal ini dapat dilihat dari jumlah kasus korupsi yang disidangkan di pengadilan pada 2024.
Sangatlah disayangkan ternyata lansiran PPATK tentang transaksi korupsi sebesar Rp 984 triliun tersebut tidak membuat penegak hukum tergerak dan ingin tahu serta berusaha menindak lanjutinya. Padahal jika ditindaklanjuti, maka dari setiap kasus korupsi pada umumnya akan melahirkan dua tindak pidana ikutan. Diantaranya tindak pidana pencucian uang mengingat tidak mungkin uang hasil korupsi tersebut hanya dinikmati oleh sang koruptor, melainkan akan ada yang disembunyikan, disamarkan atau dialirkan ke pihak lain. Sedangkan tindak pidana ikutan berikutnya adalah tindak pidana perpajakan mengingat sang koruptor tidak mungkin mengisi Surat Pemberitahuan (SPT) Pajak dengan benar karena jika hal tersebut dilakukan, maka kejahatan korupsinya akan ketahuan.
Selanjutnya jumlah LTKM dari Tindak Pidana Asal berupa Perjudian pada 2024 sebanyak 89.468, tetapi yang menjadi Hasil Analisis dan dikirim ke Penegak Hukum hanya sebanyak 58 Hasil Analisis. Sementara masih menurut PPATK di DKI Jakarta saja sebanyak 600.000 orang yang main judol dengan deposit mencapai Rp 3 triliun.
Kita bertambah heran jika melihat berapa perkara perjudian yang sampai disidangkan di pengadilan dibandingkan berapa banyak uang hasil perjudian, ternyata sangatlah sedikit. Sehingga wajar jika timbul pertanyaan, apakah hanya sebanyak itu yang berhasil ditangani? Yang ditangani pun sejauh ini tidak menyentuh para bandar besar serta pihak-pihak pengendali perjudian tersebut. Jumlah uang yang berhasil dirampas sangatlah sedikit jika dibandingkan dengan lansiran PPATk yang mencapai ratusan triliun rupiah.
Kondisi yang sama juga terjadi pada kasus Narkoba. Pada 2024 dengan jumlah LTKM sebanyak 3.742 LTKM yang menjadi Hasil Analisis sebanyak 114 HA. Dari jumlah 114 HA tersebut hanya sebanyak 17 kasus yang disidangkan di pengadilan. Kondisi diatas menimbulkan pertanyaan di benak kita, sejauh mana kemampuan PPATK menganalisis seluruh LTKM agar menjadi HA dan HP dan dikirimkan kepada penegak hukum. Juga soal kualitas LTKM yang dikirim oleh Pihak Pelapor, khususnya bank sebagaimana dimaksud dalam pasal 17 Undang-undang Nomor 8 tahun 2010. Bisa jadi kualitasnya belum sesuai dengan kriteria yang diatur dalam regulasi tersebut.
Saran dan solusi
Kejadian dan fakta anomali diatas harus segera diakhiri dan dilakukan klarifikasi guna dicari tahu apa penyebabnya agar segera dapat diselesaikan.
Klarifikasi ini penting; jika dibiarkan tetap seperti ini, maka reputasi Indonesia sebagai anggota Gugus Tugas Penindakan Finansial (FATF) dan juga warga dunia yang mempunyai Pancasila sebagai dasar negara akan terdegradasi. Kesan masyarakat dunia begitu banyak transaksi mencurigakan yang tidak digarap atau ditindaklanjuti.
Begitupun dengan Hasil Analisis yang memuat indikasi tindak pidana, tapi tidak ditindaklanjuti oleh penegak hukum. Padahal Indonesia adalah negara yang menjadikan hukum sebagai panglima. Di samping ada juga perangkat atau organ seperti Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, kejaksaan, kepolisian, KPK, dan kementerian yang mempunyai Penyidik PNS.
Selain dari pada hal tersebut, Badan pemeriksaan Keuangan yang salah satu kewenangannya melakukan audit kinerja harus segera melakukan audit kinerja terhadap PPATK dan Lembaga Penegak Hukum dan Lembaga lain yang menerima Hasil Analisis dan atau Hasil Pemeriksaan. Ini agar dapat diketahui apakah LTKM, Laporan Transaksi Keuangan Tunai (LTKT) yang diterima oleh PPATK semuanya dapat ditindaklanjuti. Jika tidak dapat ditindaklanjuti dicari tahu apa penyebabnya agar hal tersebut dapat diatasi dan tidak terulang lagi. Begitupun dengan lembaga penegak hukum yang menerima HA dan HP dari PPATK.
Kita meyakini dengan cara ini kejadian anomali akan segera berakhir dan reputasi Indonesia akan menjadi lebih baik.