AIMI Beberkan Alasan Mengapa Cuti Melahiran 3 Bulan Enggak Cukup

12 hours ago 7

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI) menyuarakan sejumlah tuntutan kepada pemerintah, menjelang peringatan Pekan Menyusui Dunia 2025 yang jatuh pada 1-7 Agustus. Dua isu utama yang disorot yakni implementasi cuti melahirkan serta penguatan regulasi promosi susu formula.

Ketua Umum AlMI, Nia Umar, mengatakan pemberian ASI eksklusif selama enam bulan hanya dapat tercapai jika ibu diberikan hak cuti yang memadai. Saat ini, UU No 4 Tahun 2024 tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak telah mengatur bahwa pekerja perempuan berhak atas cuti melahirkan minimal tiga bulan, dan dapat diperpanjang hingga enam bulan dalam kondisi tertentu seperti adanya masalah kesehatan pada ibu atau bayi.

Namun menurut Nia, hingga kini banyak perusahaan masih mengacu pada UU Ketenagakerjaan yang menetapkan cuti melahirkan bagi pekerja perempuan hanya 3 bulan, dengan masing-masing 1,5 bulan sebelum dan sesudah melahirkan. "Kalau kita bicara ASI eksklusif enam bulan, maka ibu harus punya waktu enam bulan bersama bayinya. Cuti tiga bulan itu jelas tidak cukup, jadi miris ya karena walaupun ada UU Kesejahteraan Ibu dan Anak, tapi banyak perusahaan masih mengacu ke UU tenaga kerja," kata Nia dalam konferensi pers daring dipantau di Jakarta, Selasa (29/7/2025).

Menurutnya, tanpa cuti enam bulan, target nasional ASI eksklusif 80 persen akan sulit tercapai. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2021, baru 52,5 persen bayi Indonesia yang mendapatkan ASI eksklusif selama enam bulan pertama kehidupan mereka. Artinya, hampir separuh bayi Indonesia belum mendapat ASI Eksklusif.

"Enam bulan pertama adalah masa emas pertumbuhan bayi. Kalau negara ingin anak-anak sehat dan kuat, maka kebijakan cuti harus mendukung itu," kata dia.

Nia mengatakan, keberpihakan pemerintah untuk menegakkan cuti enam bulan juga sangat penting. Mengingat dari sekitar 70 juta perempuan usia reproduksi di Indonesia, 48 persen di antaranya merupakan pekerja aktif.

"Jumlah ini sangat signifikan. Kalau tidak ada kebijakan yang melindungi, artinya kita membiarkan setengah populasi ibu kehilangan kesempatan menyusui bayinya secara optimal," kata dia.

Nia juga menyoroti sejarah panjang susu formula sebagai pesaing utama ASI, terutama sejak dekade 1970-an. Menurutnya, sejak saat itu, promosi susu formula dilakukan secara besar-besaran oleh industri dan menggeser kebiasaan menyusui secara alami.

"Padahal menyusui itu kodrati. Semua mamalia menyusui anaknya setelah lahir, termasuk manusia. Tapi kenapa justru manusia yang sekarang banyak tidak menyusui? Jawabannya karena intervensi industri lewat promosi susu formula yang masif dan menyesatkan," kata dia.

Nia menilai, implementasi kode etik pemasaran susu formula di Indonesia masih lemah. Iklan dan promosi susu formula masih mudah ditemukan media massa dan sosial media. "Ini sangat berbahaya karena merusak persepsi masyarakat bahwa susu formula itu setara dengan ASI. Padahal tidak," ujarnya.

AlMI menilai perhatian pemerintah terhadap edukasi menyusui masih minim. Kampanye atau iklan layanan masyarakat yang mengedukasi soal pentingnya ASI sangat jarang ditemukan di media.

"Miris sekali. Iklan susu formula masif, ada di TV, media sosial, bahkan aplikasi. Tapi iklan soal menyusui? Hampir tidak ada. Padahal ibu menyusui ini butuh dukungan publik dan kebijakan, bukan dibiarkan berjuang sendiri," ujar Nia.

Untuk itu, AlMI meminta pemerintah tidak berhenti pada tataran regulasi, tapi juga mengalokasikan anggaran khusus untuk kampanye menyusui, termasuk dalam bentuk iklan layanan masyarakat, pelatihan komunitas, dan edukasi lintas sektor. "Anggaran ini penting. Karena bagaimana pun juga, edukasi dan kampanye soal ASI harus dianggarkan. Tidak bisa hanya mengandalkan inisiatif individu atau organisasi masyarakat saja," kata Nia.

Read Entire Article
Berita Republika | International | Finance | Health | Koran republica |